Skip to main content

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

    The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.
  The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that”[ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman hingga kini masih belum menyadari segala sesuatunya].
  Ketika kita lahir ke dunia ini, orang-orang di sekeliling kita menyebut kita dengan sebuah nama. Hal ini berlangsung secara terus-menerus hingga kita memercayai bahwa kita memiliki nama, dan apa itu nama kita, tanpa memikirkan apa guna nama itu bagi kita, serta mengapa harus nama tertentu yang diberikan kepada kita. Kita juga diajarkan apa itu meja, kursi, mana yang hitam dan putih. Sejak kecil kita banyak diberitahu soal kebenaran dan realiatas oleh orang-orang di sekitar kita, orang tua, guru, teman, tetangga, dan sebagainya. Informasi-informasi ini membentuk perspektif kita dalam memandang realita. Namun, di sisi lain pertanyaan-pertanyaan mengenainya terus muncul dan memaksa kita untuk mengesampingkan perspektif subjektif, dan mencari jawabannya secara objektif.
  Ketika kita melihat sebuah meja berwarna merah, apakah benar-benar berwarna merah meja itu? Ketika Truman melihat ayahnya di tengah kerumunan orang, apakah itu benar-benar ayahnya? Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali menganggap banyak hal sebagai sesuatu yang pasti, padahal setelah diperiksa dengan cermat ternyata penuh kontradiksi dan hanya dengan pemikiran yang suntuk kita mampu mengetahui apakah hal itu sesungguhnya sehingga kita benar-benar mempercayainya[ Russel, Bertrand. The Problems of Philosophy. Yogyakarta: Ikon Teralitera, hlmn 1].
  Seorang filsuf, Berkeley, justru percaya bahwa tidak ada segala sesuatu yang nyata atau riil, kecuali ide, pikiran, dan perasaan. Segala sesuatu hanyalah ide-ide dalam pikiran Tuhan. Pandangan rasionalismenya kurang cocok pada The Truman Show. Di sini, justru terdapat eksistensi, bukan hanya sekedar ide-ide. Namun, gambaran mengenai eksistensi itu bergantung pada bagaimana perspektif seseorang dibentuk dalam perjalanan hidupnya.
  Contoh lain penerapan dari kasus The Truman Show ialah ada sebuah bangku di taman. Sejak kecil, saya tahu perbedaan warna karena telah diajarkan oleh orang-orang di sekitar saya. Ketika pagi hari, saya melihat bangku itu berwarna putih, ketika mangrib, bangkunya sedikit berwarna oren, dan ketika malam, bangkunya menjadi gelap. Akhirnya saya menjadi bingung, apa warna dari bangku itu? Kemampuan penglihatan kita terbatas. Bangku itu sendiri jelas eksistensinya, tapi saya sulit untuk mengetahuinya secara utuh. Jadi, selama ini bukan warna putih yang saya lihat, tapi saya melihatnya sebagai warna putih. Sehingga, penglihatan kita menjadi sesuatu yang dapat diragukan. Dalam film Now You See Me, salah satu aktornya seringkali mengungkapkan, “the more you think you know, the easier it’ll be to fool you”. Ia mengatakan hal itu karena ia merupakan pesulap. Ketika kita melihat sebuah pertunjukkan sulap, seringkali perspektif kita dimainkan. Semakin kita percaya akan perspektif kita mengenai bagaimana sulap itu berjalan, justru semakin mudah kita untuk dikelabui. Semakin percaya Truman akan kehidupan yang ada di sekelilingnya, semakin terperangkap dalam “panggung drama” yang disiapkan untuknya.
  Film ini, dari sisi lain juga mendukung pandangan kaum rasionalisme yang disimbolkan dalam peran Truman yang tidak pernah benar-benar mengetahui realitas yang ada. Menurut Plato, segala sesuatu yang kita lihat merupakan cerminan dari ide atau gagasan kita mengenai subtansi tersebut. Dunia yang ada di The Truman Show hanya tiruan dari dunia nyata yang tidak pernah mendekati realita. Konsep mengenai rasionalisme sebenarnya kini didukung oleh beberapa konsep fisika, yakni tentang gelombang, dan kuantum fisika. Sejak Sekolah Dasar (SD), kita diajarkan bahwa apa yang dilihat mata kita ialah pantulan gelombang cahaya yang ditangkap. Itu pula yang membuat kita melihat sesuatu cerah di satu waktu, dan gelap di waktu lain. Penglihatan kita juga terbatas antara 360 nm hingga 760 nm, sehingga, segala sesuatu yang kita lihat di dunia ini merupakan batas panjang gelombang itu (hitam, putih, merah-ungu). Kita melihat realitas seolah mengintip istana melalui lubang. Sehingga, kita tidak pernah mengetahui realita secara utuh, yang kita ketahui hanyalah yang kita lihat lewat lubang itu. Truman pun tidak pernah mengetahui bumi secara menyeluruh, yang ia ketahui hanyalah panggung drama yang dibuatkan untuknya.
  Dalam pandangan empirisme dan eksistensialisme, Truman tidak mengetahui dan mengenal dunia di luar dari “panggung”-nya karena ia belum pernah melihat, atau mendengar tentangnya. Segala sesuatu yang tidak pernah diketahuinya menjadi tidak eksis dalam kehidupannya. Selama Truman berada dalam “panggung” tersebut, dunia yang eksis hanyalah dunia yang ia alami dan lihat sepanjang hidupnya, atau dengan kata lain dunia yang dikonstruksi oleh orang-orang di sekitarnya. Melalui pengalamannya, Truman sadar akan adanya hal-hal yang janggal. Pengalaman-pengalamannya itu ia pikirkan, hingga ia berusaha untuk keluar dari tempat itu.
  
  Keraguan Truman membuatnya berpikir tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang nyata, dan mana yang tidak. Dalam salah satu adegan, sahabat Truman mengatakan, “We were right together, and we were wrong together”[ Scene ketika Truman sedang berbincang dengan sahabatnya di malam hari, berdua.]. Sesungguhnya, kebenaran atau kesesatan merupakan sifat dari keyakinan dan pernyataan-pernyataan[ Russel, Bertrand. The Problems of Philosophy. Yogyakarta: Ikon Teralitera, hlmn 141]. Seringkali manusia memercayai bahwa sesuatu merupakan kebenaran karena orang-orang di sekitarnya menekankan bahwa itu adalah kebenaran. Manusia juga setingkali merasa menemukan kebenaran dengan membuat kesimpulan atas bukti-bukti kecil yang ditemukannya, lalu ia susun menjadi suatu kasus besar. Seperti Sherlock Holmes dalam cerita-ceritanya, ia mencari bukti-bukti kecil, lalu ia pecahkan bukti-butkti itu melalui semiotika, ia kaitkan bukti yang dimilikinya dengan realita, lalu ia jadikan hal-hal kecil yang tidak utuh manjadi jawaban atas kasus-kasus yang ada. Truman pada awalnya menjalani hidupnya dengan biasa saja, hingga ia menemukan kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan kecil ini ia teliti, dan jawaban secara utuh, bahwa orang-orang di sekitarnya memerlakukannya secara palsu. Ketika ia menemukan jawaban atas bukti-bukti kecil yang dimilikinya, barulah ia mencoba untuk keluar dari situ.
  
  “I’m not allowed to talk to you”
  “Yeah, I know, I’m pretty dangerous character”
  “I’m sorry, it’s not up to me”
  “Yeah, girls should be carefull”
  Dialog ini[ Scene ketika Truman berbincang dengan salah satu wanita di perpustakaan] mampu dikaitkan ke dua konsep filsafat mengenai feminisme dan norma. Dalam percakapan itu, terlihat bahwa masyarakat memang sudah menyepakati bahwa wanita adalah harus lebih hati-hati karena lebih rentan untuk terkena bahaya. Dalam kepercayaan feminisme, terutama feminisme radikal, hal itu disebabkan oleh perspektif wanita dalam masyarakat yang dianggap seperti objek, sedangkan lelaki ialah subjeknya. Wanita itu juga terlihat dalam beberapa adegan dijaga oleh para lelaki. Beberapa adegan lain juga menunjukkan Truman ditarik oleh beberapa lelaki ketika hampir melampaui batas “panggung drama”. Laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, sedangkan wanita sosok yang merayu dan minta didatangi. Adegan lainnya terlihat ketika Truman bertemu dengan istrinya yang cenderung suka memanja, dan mengaturnya secara halus. Stereotip ini tak lepas dari anggapan bahwa perempuan memiliki kelebihan dalam komunikasi, dan lelaki dalam kekuatan fisiknya. Hal-hal tersebutlah yang seringkali diperangi oleh kaum feminisme.
  Menurut kaum feminisme, lelaki dan wanita memiliki kekuatan dan kemampuan yang sama. Namun, wanita seringkali tidak mampu mengembangkan kemampuan dan kekuatannya dikarenakan aturan-aturan dari masyarakat maupun agama yang membatasi mereka. Salah satu contoh kecil, wanita tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan tubuhnya sendiri secara maksimal karena ada aturan “tak tertulis” dalam masyarakat yang menyatakan wanita yang sudah kehilangan keperawanan ialah hina. Namun, di sisi lain, kaum Adam, selama ia memiliki masa kini yang cerdas, kaya, dan tampan, hal tersebut tidaklah menjadi masalah. Di sisi lain, pemikiran-pemikiran ini juga merambat ke hal-hal lain, seperti pembenaran atas sex bebas, lesbian, dan sebagainya. Kaum feminisme sendiri akhirnya pun terpecah menjadi banyak aliran seiring dengan berkembangnya pemahaman dan zaman itu sendiri.
  Pada dasarnya, stereotip-stereotip ini berlangsung sejak lama di media sebagai bentuk penyampaian dan penguatan karakter. Contoh stereotip penggambaran tokoh-tokoh paling mudah terlihat dalam kartun, di mana profesor selalu digambarkan seperti Albert Einstein (sedikit botak bagian atas kepala, dengan rambut keriting beruban, menggunakan kacamata, kurus, dan agak bungkuk). Simbol-simbol atau stereotip ini yang merupakan janji bahasa komunikasi antara media dengan konsumen media.
  Di sisi lain, terlihat dalam percakapan Truman dan wanita tersebut, bahwa aturan-aturan dan norma terbentuk atas masyarakat sekitar. Wanita tersebut mengatakan bahwa hal yang ia lakukan bukanlah karena ia ingin melakukannya, tapi ia tidak memiliki kehendak atau hak untuk melakukannya. Dalam kehidupan pun, banyak aturan-aturan yang mengikat kita dan mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang bukan keinginan kita. Seringkali orang melakukan sesuatu karena terintimidasi oleh janji-janji di luar dirinya sendiri. Hal-hal seperti ini digambarkan oleh Albert Camus dalam novelnya, Stranger, yang mengisahkan tentang seorang lelaki, Meursault, yang dijatuhi hukuman mati oleh jaksa atas dasar Meursault tersebut seperti monster yang tidak memiliki peraaan, salah satunya karena tidak menangis di pemakaman ibunya sendiri. Sejak lahir, manusia dikenalkan oleh ritme kehidupan bermasyarakat. Ketika ada individu yang keluar dari ritme tersebut, ia dianggap sebagai suatu keanehan, bahkan pengacau, oleh masyarakat. Dalam kasus Albert Camus, Meursault tidak melakukan hal selayaknya manusia yang seharusnya menangis di depan pemakaman ibunya ketika ibunya meninggal. Dalam kasus Truman, ia sudah diatur untuk berada dalam suatu “panggung drama” yang diatur dengan apik, ketika ia mencoba untuk keluar, seluruh aktor atau “masyarakat” di sekitarnya akan panik, dan berusaha mencegahnya.
  
  
  The Truman Show sepanjang film menggambarkan bagaimana reality show tersebut berpusat hanya pada Truman. Secara implisit, dalam acara tersebut, realitasnya berpusat pada Truman. Realita ini dapat dijelaskan melalui egosentrisme, sebuah aliran yang memiliki pandangan bahwa individu merupakan pusat dari realitas. Dimungkinkan bahwa seluruh alam semesta hanyalah sebuah mimpi belaka, dan bahwa kita eksis sendiri[ Russel, Bertrand. The Problems of Philosophy. Yogyakarta: Ikon Teralitera, hlmn 13.]. Dapat dikatakan bahwa prinsip utama dalam egosentris bahwa satu-satunya kepastian akan eksistensi dalam realita adalah eksistensi diri sendiri. Segala sesuatu yang kita ketahui, pelajari, dan persepsi merupakan proses yang dilakukan otak kita untuk memeroleh ilmu atau pengetahuan. Pengetahuan yang kita miliki merupakan representasi atas pemikiran kita melalui indra yang terbatas. Singkatnya, segala sesuatu yang kita ketahui merupakan cerminan dari pemikiran kira sendiri, sehingga kebenaran yang mutlak hanyalah kebenaran tentang diri kita sendiri. Truman memercayai realitas yang ia lihat dan pikirkan di otaknya, sehingga otaknya membentuk persepsi mengenai realitas yang terlihat benar. Padahal, segala sesuatu yang berada di sekitarnya palsu, hanya dirinyalah yang benar. Bahkan, pemikiran tentang benar itu sendiri adalah salah. Truman hanya mampu memastikan keberadaan atau eksistensi dirinya sendiri. Setiap manusia hanya dapat memastikan satu hal, yakni eksistensinya sendiri. Seperti yang dikatakan Christof dalam pembukaan, “there is nothing fake about the Truman himself”.
   Di sisi lain, Truman justru dapat dipandang melalui aliran yang berolak belakang dengan egosentrisme, yakni antroposentrisme, sebuah aliran yang percaya bahwa manusia (masyarakat) adalah pusat dari semesta, dan punya kekuatan untuk mengendalikan realitas di sekitarnya. Pandangan antroposentrisme bersumber dari teologi Kristen, filsafat barat, dan tradisi pemikiran liberal. Menurut pandangan ini, tindakan manusia tidak lepas terhadap dampak ke ekologi, sehingga keadaan ekosistem bergantung pada tingkah laku manusia. Segala sesuatu yang terjadi di realita bergantung kepada manusia. Hal ini dapat dilihat dari Truman, segala rekonstruksi lingkungan di sekitarnya bergantung pada manusia. Manusia memiliki kemampuan lebih untuk mengatur ekosistem di sekitarnya. Pandangan mengenai antroposentrisme ini seringkali menjadi perdebatan di antara kaum feminisme. Menurut mereka, seringkali manusia yang dianggap sebagai pusat dengan kedudukan dan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk yang lainnya bukanlah sekedar manusia, melainkan manusia dengan jenis kelamin pria. Dalam film The Truman Show sendiri terlihat seberapa besar kendali kaum Adam atas realita yang berlangsung. Orang di belakang layar yang mengatur segala sesuatu yang berlangsung dalam realita Truman ialah lelaki, dan tokoh utama yang menjadi pusat reality show itu sendiri jugalah lelaki.

The Truman Show memang film yang cukup unik, dan mampu memaparkan banyak konsep filsafat melalui komunikasi visualnya. Mulai dari konsep mengenai rasionalisme, eksistensialisme, egosentrisme, antroposentrisme, hingga feminisme. Suatu realitas dapat dijabarkan melalui beberapa aspek tergantung sudut pandang mana, dan kacamata jenis apa yang digunakan untuk melihatnya. Namun, segala jenis konsep yang digunakan untuk memandangnya, pada dasarnya mencoba untuk membentuk atau mengkonstruksi realita mendekati utuh dan kebenaran, atau dalam kasus ini, mengkonstruksi simbol-simbol di balik film The Truman Show. Semakin banyak sudut pandang yang mampu digunakan dan dijabarkan, semakin utuh pula pandangan kita dalam melihat realitas tersebut.








Daftar Pustaka:

Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarta.

Berger, Arthur Asa. 2010. Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Bandung: Mizan.

Iqbal, Muhammad. 2006. Ibn Rusyd dan Averroisme: Pemberontakan Terhadap Agama. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Richard West dan Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory Analysis and Application. New York: Mc Graw Hill.

Russel, Bertrand. 2002. The Problem of Philosophy. Yogyakarta: Ikon Teralitera.

W. Poespoprodjo. 1999. Logika Scientifika (Pengantar Dialektika dan Ilmu). Bandung: Pustaka Grafika.

http://www.britannica.com/topic/anthropocentrism dibuka pada 3 November 2015.

http://www.jurnalperempuan.org/blog-feminis-muda dibuka pada 1 November 2015.

http://www.scribd.com/doc/66944040/1-a-Presentation-2-Antroposentrisme dibuka pada 3 November 2015.

http://www.starseeds.net/forum/topics/the-philosophy-of-egocentrism dibuka pada 3 November 2015.
“there is nothing fake about the Truman himself”

Comments

Popular posts from this blog

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare

Arranged: Menghidupkan Tradisi dalam Masyarakat Plural

Perbenturan budaya, dalam konteks positif ataupun negatif, dalam kota metropolitan menjadi hal yang biasa terjadi. Film Arranged yang ditulis oleh Stefan Schaefer menghadirkan fenomena ini dalam bentuk persahabatan antara Rochel Meshenberg, seorang Yahudi Ortodoks, dengan Nasira Khaldi, seorang Muslim keturunan Suria. Brooklyn, New York, menjadi latar belakang dari berlangsungnya hubungan mereka. Film independen asal Amerika yang diproduksi oleh Cicala Filmworks ini membuka narasi dengan menunjukan bagaimana Rochel dan Nasira yang bekerja sebagai guru baru di sebuah sekolah umum menghadirkan identitas yang berbeda dari guru-guru lainnya. Identitas Yahudi dan Islam yang dihadirkan sempat dijadikan sorotan oleh murid-murid dan kepala sekolah mereka. Persahabatan mereka pun diwarnai dengan bagaimana mereka bercerita tentang tradisi yang dimiliki masing-masing, hingga masalah perjodohan beserta dilemanya yang dimiliki keduanya. Rochel sebagai Yahudi Ortodoks harus menentukan pilihan atas