Mendengar dan mendapat informasi dari beberapa pengguna, seperti R dan T tentang penggunaan ganja sintetis. Mereka mengatakan bagaimana mendapatkan “barang” (ganja sintetis) itu dan keduanya mengakui betapa mudah mendapatkannya. Dari sana, kami menelusuri sebenarnya bagaimana awal mula atau rekam jejak mengenai ganja sintetis ini.
Sebagai aktivis yang bergerak untuk melegalkan ganja, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN), mengaku pernah mendapatkan ganja sintetis ini sekitar tahun 2012 yang ia dapatkan dari temannya. Ia pun mengaku tertipu karena ternyata efek yang dihasilkan berbeda dari yang alami. Baginya ganja sintetis itu lebih berbahaya.
“Ya, pertama kali make ketipu di tahun 2012 dibawa sama temen dibilangnya ganja. Ketika saya pakai awalnya gelap. Rasanya seperti melihat langit tapi kayak cahaya-cahaya. Saya jadi parno, mau balik ke dunia biasa gak bisa dan saya ketakutan. Cuma 5-10 menit dan hilang. Saya gak mau make lagi, yang pasti itu berbahaya karena kita gak tau itu sebenernya apa, diproduksi di mana dan bahan kimianya apa. Simpulannya orang yang make itu kacau dan zat yang ada itu gak bener dan jangan dibandingin dengan ganja,” ucap Dhira dengan suara yang lantang menjelaskan tentang pengalamannya dengan ganja sintetis.
Dari Dhira, kami mendapatkan adanya perbedaan mengenai ganja dan ganja sintetis. Ada yang alami dan juga sintetis. Hanya saja bagi Dhira, penamaan ganja sintetis dianggap kurang. Dari situ kami mulai menelusuri lagi bagaimana sejarah dari ganja sintetis ini. Kami pun menemukan beberapa artikel yang terkait dengan itu, ditulis oleh Dania Putri, Ahli Aturan Obat-Obatan Internasional dan Kebijakan Obat-Obatan di Asia Tenggara.
Tak hanya membaca, kami juga mewawancarai Dania melalui surat elektronik (surel). Kurang dari dua hari, Dania langung membalas surel kami dan menjelaskan perihal ganja sintetis, baginya fenomena ganja sintetis ini atau 'cannabinoid sintetis' lebih tepatnya, tidak terbuat dari elemen apapun dari tanaman ganja/cannabis. “Barang” tersebut merupakan salah satu dampak dari pelarangan konsumsi, distribusi, dan produksi ganja.
“Pastinya juga pernah mendengar istilah seperti 'legal high' atau 'synthetic cannabinoids' (istilah yang lebih scientific tetapi jarang digunakan) yang banyak beredar di negara-negara Amerika Utara dan Eropa. Produk-produk ini juga menyebar karena pada kenyataannya, penggunaan zat psikoaktif (drugs/narkotika/napza) merupakan hal yang tidak dapat terhindari, terlepas dari pelarangan dan ancaman hukuman dari pemerintah,” ujar Dania dalam surel yang dikirimkan kepada kami.
Berbagai kasus yang terjadi dari pemberitaan di beberapa media menyebutkan bahwa “barang” tersebut dikenal dengan tembakau gorilla, sehingga masyarakat mengenal ganja sintetis ini dengan sebutan “Gorilla”. Melihat fenomena tersebut Dania juga mempunyai pendapat perihal itu.
“Terkait produk tembakau gorilla, sejujurnya saya belum mendapatkan informasi yang konkrit dan kredibel mengenai asal produk tersebut. Tetapi, menurut saya, dinamikanya mirip dengan dinamika penyebaran New Psychoactive Substances (NPS) dan zat-zat narkotika sintetis di negara-negara lain. Nah, produk tembakau gorilla (yang sampai Januari 2017 lalu, statusnya masih 'legal') merupakan salah satu bentuk "balloon effect" dari pelarangan ganja (dan mungkin juga dari pelarangan narkotika secara umumnya),” lanjut Dania.
Balloon effect atau efek balon itu sendiri jika dikaitkan dengan pemerintah saat ini bisa dikatakan ketika pemerintah melarang satu jenis zat psikoaktif atau narkotika, misalnya dengan cara memusnahkan ladang ganja atau menangkap seorang bandar, pemerintah tidak menyadari bahwa nantinya, ladang-ladang ganja baru akan muncul (di tempat yang berbeda), dan bandar-bandar baru akan muncul (dengan taktik yang berbeda).
Dari sisi marketing, pengusaha-pengusaha produk ganja sintetis seperti tembakau gorila melihat peluang keuntungan jika produk tersebut dipasarkan sebagai substitusi ganja (yang statusnya legal dan dengan begitu dianggap aman). Hal tersebut terbukti, penjualan ganja sintetis ini meningkat. Menurut data PBB yang menangani Obat-obatan dan kejahatan atau UN Office on Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 2008 mencapai 26 orang dan meningkat pada tahun 2014 yang mencapai 452, bahkan dalam situs economist.com dijelaskana kalau sudah mencapai angka 700. Di luar negeri seperti Amerika dan Eropa, ganja sintetis ini dikenal dengan sebutan “Spice”, “K2”, dan “Black Mamba”, dan nama lainnya diproduksi di Tiongkok.
Setelah mendapatkan berbagai penjelasan mengenai ganja sintetis dari Dania, kami meneruskan penelusuran kami mengenai ganja sintetis ini. Kami menemui pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai ganja sintetis ini. Proses yang dilalui agar bisa mewawancarai pihak BNN tentunya harus melalui prosedur, kami harus pergi – pulang, Jakarta-Jatinangor beberapa kali hanya untuk konfirmasi kesediaan narasumber. Akhirnya kami bertemu dengan Hari Nugroho yang memegang bagian rehabilitasi di BNN
Kami bertemu Hari Nugroho di salah satu mal elit di daerah Jakarta Selatan. Menurut Hari, obrolan mengenai ganja sintetis ini akan memakan waktu yang cukup panjang sehingga harus santai. Bersama Hari, kami duduk di salah satu kedai kopi, sambil ditemani oleh alunan musik hits. Hari yang menggunakan kaus berkerah berwarna merah membuka obrolan dengan mengaku senang dengan maksud kami menemuinya.
Tanpa berlama-lama, kami mengajukan pertanyaan mengenai awal mula ganja sintetis ini. Sebelum menjawab ia meneguk segelas macchiato-nya, lalu mengatakan akan menjawabnya dari awal mula yang terjadi secara global lalu ke Indonesia.
Hari memaparkan untuk mengetahui awal mula atau sejarahnya, harus flashback, sekitar 40 tahun yang lalu. Para ahli bisa mengisolasi yang namanya zat aktifnya ganja atau Tetrahydrocannabinol (THC). Diisolasinya THC ini kemudian seseorang atau para peneliti tahu efeknya seperti apa. Mereka ingin buat sintetiknya seperti apa, kemudian digunakan sebagai obat-obatan seperti mual dan muntah. Sekitar akhir 80-90-an percobaan itu mulai berhasil. John W Hoffman berhasil menciptakan synthetic cannabinoid (SC) yang pertama.
“Sebenarnya yang bikin SC itu pabrik farmasi bukan bandar narkoba. Tujuannya adalah untuk pengobatan. Awalnya ada 4 bagian utama dari synthetic cannabinoid ini, lalu dikembangkan lagi dengan adanya penyalahgunaan menjadi 7-9 jenis. Turunannya banyak lagi. Di Eropa sendiri menemukan ada 137 jenis synthetic cannabinoid. Di Indonesia ada 21 jenis ganja sintetis dari 56 jenis narkoba baru yang masuk ke Indonesia. Sebetulnya istilah ganja sintetis itu tidak tepat, yang tepat adalah synthetic cannabinoid,” tutur Hari sembari mengetukan jari telunjuknya ke meja untuk menekankan maksud dari perkataannya.
Selanjutnya, Hari menjelaskan penamaan ganja sintetik atau lebih tetapnya disebut synthetic cannabinoid itu untuk karena menyerupai THC, zat aktifnya ganja. Di dalam otak kita pun ada endocannabinoid, yaitu cannabinoid yang memang normal ada di dalam otak kita, cannabinoid utama itu yang berperan dalam proses terapi. Itu sejarah globalnya. Synthetic cannabinoid itu memang memiliki pasarnya sendiri karena dianggap lebih “kuat”, lebih “murah”, dan belum terdeteksi urin
Di Indonesia sendiri, sebetulnya pertama kali masuk adalah kasus-kasus yang dibongkar di Bandung, SC pertama kali di Indonesia yang merknya good shit. Nama lainnya itu adalah kemasan, seperti gorilla, ganesha, dan lainnya. Penamaan tersebut tujuannya untuk mengelabui. SC itu sebenarnya zat kimia, bukan ganja bikinan. Zat kimia yang bekerja di saraf otak itu bukan ganjanya yang dibuat sintetik tapi zat cannabinoidnya.
“Penggunaannya itu disemprotin ke herbal-herbal, tembakau, ada yang pakai bunga lili, kecambah, ada yang pake kacang ijo, pokoknya macem-macem. Itu contoh saja, namanya banyak macamnya. Ada tanaman-tanaman yang memang mengandung unsur zat psikoaktif, tapi zat psikoaktifnya gak seberapa cuma karena disemprotin cairan sintetik tadi, zat psikoaktifnya yang mempengaruhi saraf lebih kuat dan hebat,” kata Hari.
Hari melanjutkan bahwa itu yang harus dipahami masyarakat yang salah mempersepsikan bahwa itu ganja yang dibuat sintetik padahal itu sebenarnya zat kimia. Tujuan pertama kali adalah untuk pengobatan, itu untuk semua narkoba. Misal heroin dibuat oleh pabrik farmasi untuk obat batuk pilek. Namun, kemudian disalahgunakan oleh bandar dengan tujuan lain.
Obrolan dengan Hari berlanjut ke berbagai hal lainnya, seperti dampak dan penyebarannya. Namun, dalam tulisan ini akan lebih dibahas mengenai awal mula atau perkembangan SC. Sebelum bertemu Hari, kami sempat menemui Mulyadi, Ajun Komisaris Besar Polisi (Polda Jabar) Kabag Bin Opsnal Dit Res Narkoba. Versi berbeda dijelaskan Mulyadi mengenai awal mula diketahui adanya SC. Di Jawa Barat sendiri, pihak Polda Jabar mengetahui adanya SC pada tahun 2015 di daerah Garut.
Untuk penamaan, sepaham dengan Hari, nama-nama yang disematkan pada SC hanyalah sebuha kemasan atau merek. “Tembakau gorilla adalah brand atau merek. Ada brand lain, seperti hanoman, dan sebagainya,” ucap Mulyadi.
Pihak Polda Jabar sendiri sebelum ada ketentuan hukum yang baru-baru diberlakukan belum bisa memberikan hukuman. Mulyadi menjelaskan pihaknya tidak dapat memproses secara hukum, jadi hanya menyita barangnya.
“Kepala Satuan Narkoba Garut lapor kepada saya dan menanyakan saya. Saya kembalikan ke asas hukum pasal 1 ayat 1 KUHP tentang asas legalitas bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali bilamana ada aturan yang mengatur sebelumnya. Jadi pada saat itu tidak bisa kita terapkan sanksi hukum. Kami hanya menerapkan sanksi sosial dengan cara memberi tahu kepada orang tuanya bahwa anak Anda menggunakan tembakau yang diduga mengandung narkotika,” jelas Mulyadi ketika ditanya perihal sanksi yang diberikan.
Selanjutnya untuk para pengguna, Hari dan Mulyadi memiliki jawaban yang serupa. Sebenarnya paling banyak adalah usia dewasa muda 19 atau 20 tahun. Laki-laki, juga pengguna ganja atau merokok. Rata-rata pengguna yang didapatkan adalah usia produktif, ada mahasiswa, ada juga anak-anak usia sekolah.
Berikutnya, menurut penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Sintetik Cannabinoid ini bermula pada tahun 1960, proporsi THC dalam ganja herbal yang biasa digunakan adalah 3% atau kurang dan untuk memenuhi tuntutan pasar dilakukan usaha untuk meningkatkan kadarnya hingga menjadi 16% di Inggris pada awal abad ke-21 dan di Belanda 20%. Memang awalnya SC ini digunakan sebagai alat penelitian farmakologis untuk cannabinoid endogen.
Setelah mengetahui beberapa hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Hari penamaan ganja sintetis tidaklah tepat, tapi synthetic cannabinoid. Namun, penamaan lain atau istilah di beberapa negara bagian Amerika Serikat, yang melegalkan “medical marijuana” tersedia berbagai varian nama dari SC itu sendiri, seperti “Skunk”, “Spice Gold”, “Moon Rocks”, “ Bath Salt”. Di Indonesia seperti sudah disebutkan nama-namanya dikenal dengan “Gorilla”, “Hanoman”, “Ganesha”, “Good Shit” dan lainnya.
Ditulis oleh: Fadiyah dan Muhammad Iqbal
Tulisan terkait:
"Mainan" Baru Candu Baru
Alternatif Baru Dari Ganja Alami
Payung Hukum Belum Kuat
Perbedaan Dari Yang Serupa
Gangguan Akibat Synthetic Cannabinoid
Comments
Post a Comment