Skip to main content

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman
Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia.

Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) karena semua argumen mencakup “ide-ide yang tidak dapat diverifikasi atau dibuktikan dengan cara yang absolut”. Fisher kemudian mencoba menjembatani jurang antara logos dan mitos.

Terdapat lima asumsi dari paradigma naratif, yakni bahwa mereka bertolak belakang dengan paradigma rasional. Yang pertama, manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita, di mana menurut paradigma rasional, manusia adalah makhluk rasional.cerita memengaruhi, menggerakkan, dan membentuk dasar unttuk keyakinan dan tindakan manusia. Naratif juga bersifat universal, dalam artian bisa ditemukan dalam semua budaya, dan periode waktu. Fisher mengemukakan istilah homo narrans untuk mendefinisikan hal ini. Dalam pendekatannya, Fisher dipengaruhi oleh Alasdair MacIntyre, yang mengatakan bahwa “manusia [sic] dalam tindakannya dan praktiknya, dan juga dalam fisiknya, pada dasarnya adalah makhluk pencerita”.

Asumsi kedua ialah keputusan mengenai harga atau nilai dari sebuah cerita didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”. Berbeda dengan paradigma dunia rasional yang pengambilan keputusannya didasarkan pada argumen. Faktor yang memengaruhi keputusan untuk memilih cerita merupakan kode argumen yang lebih personal dibandingkan abstrak, atau apa yang kita sebut sebagai pemikiran yang logis.

Asumsi ketiga ialah pertimbangan yang sehat dipengaruhi oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter. Hal ini berkaitan dengan apa yang secara khusus memengaruhi pilihan orang dn memberikan alasan yang baik untuk mereka. Oleh karena itu, materi yang dianggap persuasif ialah materi yang secara spesifik relevan dengannya secara pribadi. Dalam paradigma rasional, argumen justru mengikuti kriteria khusus untuk mencapai pertimbangan yang sehat dan logika.

Asumsi keempat menyatakan bahwa orang memercayai cerita selama cerita terlihat konsisten secara internal dan dapat dipercaya. Rasionalitas naratif beroperasi berdasarkan dua prinsip, yakni koherensi dan kebenaran.

Koherensi merujuk pada konsistensi internal merujuk pada konsistensi internal dari sebuah naratif. Koherensi terbagi atas tiga tipe yang spesifik, yakni koherensi struktural (meruuk pada aliran cerita), material (merujuk pada kongruensi antara satu cerita dengan cerita lainnya), dan karakterologis (merujuk pada dapat dipercayanya karakter-karakter di dalam cerita).

Kebenaran merupakan prinsip yang menilai kredibilitas dari sebuah cerita yang mampu merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial. “Sebuah rangkaian prosedur yang sistematis yang akan membantu di dalam analisis dan penilaian sebuah elemen pertimbangan dalam interaksi retoris,” jelas Fisher tentang konsep logikanya. Dalam paradigma naratif, logika dari pertimbangan yang sehat memberikan seorang pendengar seperangkat nilai yang menariknya dan membentuk jainan untuk menerima atau menolak saran yang dikemukakan oleh bentuk naratif apapun. Cerita yang dikisahkan dengan baik (terdiri atas rasionalitas naratif), akan lebih menggugah pembaca dibandingkan dengan kesaksian dari para ahli yang menyangkal akurasi faktual di dalam naratif itu.

Asumsi terakhir ialah dunia adalah sekumpulan cerita, dan ketika kita memilih satu di antara ccerita-cerita tersebut, kita akan mengalami kehidupan yang berbeda, dan memungkinkan kita untuk menciptakan ulang kehidupan kita. Sedangkan paradigma dunia rasional, dunia dapat direduksi menjadi sebuah rangkaian hubungan logis yang disingkap melalui pemikiran logis.

Terdapat beberapa kritik terhadap paradigma naratif. Menurut Robert Rowland, beberapa bentuk komunikasi tidak naratif sebagaimana yang disampaikan oleh Fisher. Fiksi ilmiah dan fantasi tidak sesuai dengan nilai banyak kebanyakan orang. Sebaliknya, jenis ini justru sering menentang nilai-nilai yang sudah ada. Paradigma naratif juga menawarkan sedikit tuntunan untuk menstruktur kajian-kajian, membuat menjadi sulit untuk membuktikanapakah sebuah pernyataan itu tidak benar.

Paradigma naratif juga dianggap kurang berguna karena suatu hal yang mereka sebut sebagai bias konservatif. Menurut William Kirkwood, logika pertimbangan yang sehat Fisher berfokus pada nilai-nilai yang telah ada dan gagal untuk mendeskripsikan cara-cara di mana sebuah cerita dapat dipromosikan perubahan sosial. Menuru Rowland, pendekatan naratif juga tidak memberikan sebuah struktur yang lebih demokratis dibandingkan dengan sistem hierarkis yang didukung oleh paradigma dunia rasional, dan teori ini juga tidak menawarkan alternatif dari paradigma tersebut. Fisher juga dinilai berlebihan terkait masalah dominasi publik oleh kaum elit, atau para ahli, dalam paradigma dunia rasional.

Komentar Terhadap Paradigma Naratif
Paradigma naratif berbicara tentang pandangan di mana manusia adalah pencerita dan bahwa petimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Paradigma naratif ini dicetuskan oleh Walter Fisher. Fisher menyatakan bahwa, “tidak ada genre, termasuk komunikasi teknis, yang bukan merupakan sebuah episode dalam cerita kehidupan”. Penggunaan kata episode menggambarkan bahwa cerita kehidupan merupakan satu bagian dari bagian besar yang berantai. Hal ini senada dengan salah satu prinsip komunikasi yang dipaparkan dalam buku Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar, yang mengatakan bahwa, “Seperti juga waktu dan eksistensi, komunikasi tidak mempunya awal dan tidak mempunyai akhir, melainkan merupakan proses yang sinambung (continuous)”. Narasi atau cerita yang mampu disampaikan merupakan sebuah bagian dari sebuah realitas yang besar.

Fisher juga menjelaskan bagaimana sebuah pergeseran paradigma terjadi, di mana bahwa logos awalnya adalah sebuah kombinasi konsep termasuk kisah, pemikiran, wacana, dan pemikiran. Fisher berpikir bahwa makna ini bertahan hingga masa Aristoteles dan Plato, yang kemudian membedakan logos dan mitos (kisah dan emosi). Sebenarnya, sebagaimana yang dibicarakan dalam buku Teori Komunikasi karya Stephen Littlejohn dan Karen Foss, narasi sendiri sudah dianggap penting oleh para penganut Humanisme pada masa Renaissance (sekitar 1300-1600 masehi) di mana retorika dianggap sebagai filosofi seni, dan pengungkapan teks retorika klasik dianggap sebagai usaha untuk mengenal dunia manusia. Littlejohn juga menuliskan bahwa logika atau pengetahuan juga terpisah dari bahasa dan retorika hanya untuk menjadi cara untuk menyampaikan kebenaran ketika kebenaran tersebut diketahui.

Fisher juga memaparkan asumsi-asumsi dari paradigma naratif. Asumsi kedua ialah pengambilan keputusan dan komunikasi didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”, dan dalam asumsi ketiga dijabarkan bahwa pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter. Melalui asumsi tersebut, dapat dimaknai bahwa kebenaran atau cerita yang dapat diterima oleh manusia tersaring melalui dogma-dogma yang dipercayanya yang ia dapatkan melalui lingkungan sekitarnya (seperti budaya dan sejarah), sehingga dapat dikatakan bahwa cerita atau narasi yang diterima oleh seseorang sifatnya lebih karena landasan subjektif atau sesuai dengan frame of reference (FOR) dan field of experience-nya (FOE). Realitas merupakan sesuatu yang luas dan kompleks, manusia hanya menangkap sedikit bagian atau yang sebelumnya disebut sebagai “episode” dan menjadikannya narasi. Deddy Mulyana menjelaskan fenomena ini dari sisi persepsi di mana setiap orang mempunyai latar belakang yang membentuk “saringan” dan persepsinya dalam melihat realitas. “Saringan” dan persepsi inilah yang membantu membentuk apa yang disebut Fisher sebagai rasionalitas naratif. Koherensi material (merujuk pada kongruensi antara satu cerita dan cerita lainnya yang berkaitan) juga terkait dengan apa yang disebut FOR dan FOE, di mana harus terdapat kesesuaian antara narasi yang ia terima dengan apa yang ia ketahui atau alami di masa sebelumnya.

Dengan pemahaman dari asumsi kedua dan ketiga, kepercayaan dapat dianggap menjadi sesuatu yang subjektif. Suatu narasi akan dipercaya apabila narasi tersebut selaras dengan apa yang dipercayanya. Padahal, didikan seseorang melalui budaya, sejarah, ataupun lingkungannya belum tentu sepenuhnya benar. Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan Bertrand Russel dalam bukunya The Problem of Philosophy yang menggambarkan bagaimana lingkungan dapat membentuk apa yang kita percaya dan membentuk persepsi kita dalam menyaring sebuah realitas. Ia menggambarkan hal-hal yang sebenarnya belum tentu sama ataupun benar, tetapi kita mempercainya sebagai hal yang benar. Contohnya, ketika kita lahir ke dunia ini, orang-orang di sekeliling kita menyebut kita dengan sebuah nama. Hal ini berlangsung secara terus-menerus hingga kita memercayai bahwa kita memiliki nama, dan apa itu nama kita, tanpa memikirkan apa guna nama itu bagi kita, serta mengapa harus nama tertentu yang diberikan kepada kita. Kita juga diajarkan apa itu meja, kursi, mana yang hitam dan putih. Sejak kecil kita banyak diberitahu soal kebenaran dan realiatas oleh orang-orang di sekitar kita, orang tua, guru, teman, tetangga, dan sebagainya. Informasi-informasi ini membentuk perspektif kita dalam memandang realita. Namun, di sisi lain pertanyaan-pertanyaan mengenainya terus muncul dan memaksa kita untuk mengesampingkan perspektif subjektif, dan mencari jawabannya secara objektif. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali menganggap banyak hal sebagai sesuatu yang pasti, padahal setelah diperiksa dengan cermat ternyata penuh kontradiksi dan hanya dengan pemikiran yang suntuk kita mampu mengetahui apakah hal itu sesungguhnya sehingga kita benar-benar mempercayainya.

“Ilmu pengetahuan dimulai dengan mitos dan penilaian kritis terhadap mitos,” kutipan dari Sir Karl Popper. Mitos merupakan narasi awal dari suatu kebudayaan. Kajian mitos berada di bawah naungan semiotika dalam kajian mitologi . Menurut Umberto Eco, semiotika merupakan disiplin yang memelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai untuk berkata jujur; dan pada kenyataannya tidak bisa dipakai untuk apapun juga. Dalam buku Semiotika Media, karya Marcek Danesi, dikatakan bahwa ini adalah definisi yang cukup mendalam, karena menggarisbawahi fakta bahwa kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan. Kemampuan untuk berpura-pura ini memungkinkan kita untuk merujuk ke hal-hal apa pun tanpa dukungan empiris yang menyatakan bahwa yang kita katakan itu benar.

Mitos juga menciptakan suatu sistem yang kita ambil, bahkan hingga saat ini, untuk menyampaikan pengetahuan tentang niali-nilai dan moral awal kepada anak-anak, sehingga baik secara sadar ataupun tidak, mitos memengaruhi manusia dalam memilih narasi yang layak ia terima ataupun tolak dalam hidupnya.

Narasi atau mitos tersebut dapat dibangkitkan melalui medium seperti media massa. Seperti dalam buku Dede Mulkan, ia berbicara bagaimana sebuah media mampu merekonstruksi dunia. Dunia dilipat dan dilihat dari sisi yang dipilih sebuah media. Hal ini terjadi ke masyarakat di mana mereka selalu diterpa oleh media, baik disadari maupun tidak disadari. Jika dikaitkan dengan salah satu fungsi media massa, yakni untuk memengaruhi, maka hal ini memang menjadi salah satu fenomena berskala besar dan penting, karena berdampak besar bagi kehidupan seorang individu, mulai dari gaya hidup, berbahasa, keyakinan, hingga pemikiran.

“Musik jazz komersial, opera sabun, fiksi murahan (pulp fiction), cerita komik, dan film membentuk citra, cara berperilaku, standar dan tujuan massa perkotaan. Dalam banyak hal setiap orang dianggap sama oleh mesin-mesin kultur ini; seperti teknologi itu sendiri, media massa nyaris bersifat universal dalam jumlah dan bujukan yang diberikannya. Mereka menjadi semacam aspek yang dimiliki bersama, sejenis skema emosi massa yang sudah dirancang” ungkap C. Wright Mills. Ernest Fischer juga mengatakan, “para pemimpin media massa, pers, radio, film, dan televisi berhasil mengupayakan agar kita tidak lagi memikirkan adanya bencana. Maka, pengalihan perhatian yang mereka tawarkan menuntut adanya penolakan terhadap konsentrasi maksimum pada bencana”. Kedua pendapat tersebut mendukung pendapat bahwa narasi memiliki kekuatan yang besar, bahkan untuk merubah pola pikir seseorang.

Dalam buku Semiotika Media, dikatakan bahwa tidak ada budaya yang tidak memiliki dongeng; dan hampir tidak ada manusia hidup yang tidak mengerti apakah dongeng itu. Bahkan orang-orang cenderung melihat kehidupan sebagai dongeng dan terus berusaha mengisahkannya sebagai dongeng juga. Itulah sebabnya kisah-kisah otobiografi memberikan makna dan kebijaksanaan pada kehidupan manusia, dan berfungsi sebagai ‘tanda-tanda narasi’ yang mewakili semacam eksistensi yang memiliki tujuan tertentu

Luas dan pentingnya dampak dari terpaan media massa yang kini telah banyak disadari oleh masyarakat melalui literasi media mampu membuktikan benar adanya pergeseran paradigma akibat dari lahirnya paradigma naratif yang dikemukakan oleh Fisher. Media massa memiliki kekuatan besar dalam mengedarkan informasi, edukasi, ataupun hiburan melalui apa yang disebut narasi. Narasi ini dapat ditemukan dalam berbagai meduim, mulai dari surat kabar, film, buku, radio, maupun internet. Film merupakan salah satu contoh narasi fiktif yang mampu mendorong terbangunnya sebuah nilai atau keyakinan baru dalam masyarakat, contohnya dalam tata cara berpakaian. Film mampu melahirkan sterotip-sterotip terhadap sekelompok masyarakat akibat dari kode-kode yang mereka gunakan.

“Sometime people don’t want to hear the truth because they don’t want their illusions destroyed” -Friedrich Nietche. Berdasarkan kutipan tersebut, tergambar bagaimana ketika manusia cenderung menggunakan apa yang disebut rasionalitas narasi, yakni cenderung bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh latar belakang seseorang, maka akan sulit untuk mencari kebenaran yang diakui secara universal. Sekalipun ada yang menyeruakan kebenaran, apabila kebenaran tersebut bertentangan dengan apa yang sudah ia yakini, maka kemungkinan akan ia tolak. Itulah yang Nietche katakan dalam kutipan tersebut, yakni manusia cenderung tidak ingin mendengar kebenaran karena mereka tidak mau ilusi (kepercayaan) mereka hancur.

Paradigma ini juga tidak sesuai dengan teori peluru. Teori peluru atau yang juga seringkali disebut teori jarum hipodermik mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat besar dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif). Pengaruh media sebagai jarum suntik didukung oleh munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945)

Elihu Katz dalam bukunya “The Diffusion of New Ideas and Practices” menunjukkan aspek- aspek yang menarik dari Model Hypodermic Needle ini:
a. Media massa memiliki kekuatan yang luar biasa, sanggup menginjeksikan secara mendalam ide-ide ke dalam benak orang yang tidak berdaya (the all powerful media are able to impress ideas on defenseless mind).
b. Mass audience dianggap seperti atom- atom yang terpisah satu sama lain, tidak berhubungan, dan hanya berhubungan dengan media massa. Jika individu- individu dalam mass audience mempunyai pendapat yang sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh pesan- pesan yang sama dari suatu media (Schramm, 1963).

Teori ini menggeneralisir masyarakat, berbeda dari paradigma narasi yang justru menganggap manusia sangat berbeda-beda dan unik. Hal tersebut terlihat dari asumsi-asumsi dari paradigma naratif, di antaranya ialah bagaimana seseorang memiliki sebuah latar belakang, budaya, sejarah, dan semacamnya, yang pada akhirnya membentuk persepsi dan “penyaring” yang berbeda-beda. 

Daftar Pustaka:
Mulyana, Deddy. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
Russel, Bertrand. 2002. The Problem of Philosophy. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Sobur, Alex. 2001. Semiotika Media. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sobur, Alex. Komunikasi Naratif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman

Arranged: Menghidupkan Tradisi dalam Masyarakat Plural

Perbenturan budaya, dalam konteks positif ataupun negatif, dalam kota metropolitan menjadi hal yang biasa terjadi. Film Arranged yang ditulis oleh Stefan Schaefer menghadirkan fenomena ini dalam bentuk persahabatan antara Rochel Meshenberg, seorang Yahudi Ortodoks, dengan Nasira Khaldi, seorang Muslim keturunan Suria. Brooklyn, New York, menjadi latar belakang dari berlangsungnya hubungan mereka. Film independen asal Amerika yang diproduksi oleh Cicala Filmworks ini membuka narasi dengan menunjukan bagaimana Rochel dan Nasira yang bekerja sebagai guru baru di sebuah sekolah umum menghadirkan identitas yang berbeda dari guru-guru lainnya. Identitas Yahudi dan Islam yang dihadirkan sempat dijadikan sorotan oleh murid-murid dan kepala sekolah mereka. Persahabatan mereka pun diwarnai dengan bagaimana mereka bercerita tentang tradisi yang dimiliki masing-masing, hingga masalah perjodohan beserta dilemanya yang dimiliki keduanya. Rochel sebagai Yahudi Ortodoks harus menentukan pilihan atas