Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2015, berbagai gangguan kesehatan atau efek samping yang terjadi akibat menggunakan Synthtetic Cannabinoid (SC) adalah agitasi (35.3%), kelelahan (26.3%), muntah (16.4%), kebingungan (4.2%). Efek lainnya adalah kejang, hingga bisa sampai pada tahap kematian, terutama pada pengguna yang tingkat adiksinya tinggi.
Arifah Nur Istiqamah, Kepala Prodi di Jurusan Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran sekaligus Psikiatri Umum dan Adiksi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menjelaskan bahwa pada SC juga bisa terjadi adiksi yang berlebih. “Adiksi yang berlebih ini disebabkan karena semakin ketagihan maka kebutuhan akan itu (SC) semakin meningkat. Apabila sampai tahap itu akan sulit disembuhkan. Akan semakin sulit apabila penggunanya adalah pada usia-usia muda.” Jelas Istiqamah.
Hari Nugroho, bagian rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional (BNN), juga memaparkan bahwa SC bisa menyebabkan adiksi dan adanya bahaya yang harus dihadapi pengguna SC bagi kesehatan tubuh. Ia menjelaskan pengguna bisa mencapai tahap adiksi (ketagihan), tapi Indonesia mungkin belum karena barangnya masih susah. Tapi kalau di sebagian negara bagian Amerika Serikat, sudah dijual bebas. Di Belanda, bahkan ada yang dijual di coffee shop dan sebenernya tidak legal juga.
“Awalnya tidak suka. Lama-kelamaan jika dipakai terus, otak akan minta lagi untuk dimasukan zat tersebut. Atau kita kenal dengan sebutan sakau. Begitulah yang menyebabkan adiksi ,” ujar Hari.
Bahaya SC juga menyerang karena peredarannya yang mudah didapat dan harganya lebih murah. Itulah yang menyebabkan pengguna memilih SC, selain karena rasa penasaran. Berdasarkan penelitan, terdapat dua efek samping yang terjadi akibat adiksi SC, yaitu efek samping fisiologis dan psikiatri.
Pada efek samping fisiologis, seperti mulut kering, tremor, nyeri kepala, dan memliliki efek pada sistem pernapasan. Kemudian, pada efek samping psikiatri, penelitian menyebutkan adanya efek kecemasan berat, gangguan napsu makan, dan depresi hingga kematian.
Penelitian mendalam saat ini memang belum ada, Adhi Hidayat, Psikiater Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, memaparkan bahwa sebagai dokter, belum ada pengalaman yang mendalam, tapi dari klinis itu dilihat dari pengalaman beberapa dokter-dokter lain yang menangani kasus pengguna SC.
“Pengalaman saya empat tahun lalu ketika jadi pembicara tentang narkoba jenis baru ini memang belum ada kasusnya. Tapi setahun belakangan ini yang saya tanganin ada lima, tiga saya rawat inap karena ada yang memukuli orang tuanya,” ungkap Adhi.
Masalah yang dihadapi berikutnya, selain mencari tahu mengenai efek samping, para peneliti masih berusaha untuk mencari cara untuk mendeteksi adanya penggunaan SC dalam tubuh. Tidak seperti ganja alami, SC ternyata sulit dideteksi dan belum ada alat yang pasti karena zatnya yang beragam. Pihak BNN sendiri belum menemukan.
Hari menjelaskan, “alat untuk pengujinya, misalnya stik tes urin sebetulnya belum ada yang pas karena variannya sangat banyak, ketika ada yang klaim bisa mendeteksi, mungkin hanya jenis salah satu saja. Ada banyak jenis yang lainnya.”
Pemerikasaan lainnya pun masih dibantu oleh pihak luar negeri. Di Indonesia sendiri, hanya terdapat pada beberapa laboratorium saja, misalnya di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), Jakarta. Akan tetapi kalau untuk terapi sebenarnya sama saja.
Menurut Hari memang sebaiknya dicegah saja para penggunannya dengan cara edukasi terhadap masyarakat dan itu pentiing apalagi terhadap penggunanya. Masyarakat sering terjebak dengan pengetahuan saja tapi pemahamannya tidak diperhartikan. Misalnya narkoba, bagaimana menolaknya? tentunya harus dilatih bagaimana menolak itu, dengan role play misalnya.
“Jangan hanya berkata tolak narkoba, tapi bagaimana caranya? Karena sasarannya adalah remaja dengan dasar taking risk biasanya langsung ikut saja apalagi remaja peer pressurenya kuat,” ujar Dhira Narayana selaku pendiri Lingkar Ganja Nusantara saat menjelaskan langkah yang tepat untuk menurunkan tingkat penyebaran SC.
Banyaknya usia muda yang mengonsumsi SC dan ganja alami, akan menyerang kesehatan mereka jika disalahgunakan. Bagi yang sudah sampai tahap adiksi, salah satu mengatasinya pada orang-orang yang kecanduan SC itu memang gangguan jiwanya lebih kuat. Itu akan diterapi dengan obat gangguan jiwa. Misalnya anti cemas. Itu secara medis.
“Bagian yang sulit adalah terapi perilaku. Behavior therapy dan motivational therapy, orang make lagi dan lagi itu karena dia tidak bisa melalui itu gejala butuh zat.” Kata Hari.
R sebagai pengguna yang sudah berhenti juga menegaskan bahwa untuk penyembuhan sebaiknya tidak usah pakai obat, bikin kegiatan saja. Kalau pecandu punya kegiatan akan sembuh selayaknya yang memang dilakukan oleh R. Ia juga menjalankan kegiatan kerohanian.
“Namanya setan diguruin mana mau,” ujar R saat menekankan bahwa cara melepaskan diri dari candu bukan melalui nasihat, melainkan memberikan pengguna kegiatan alternatif.
Ditulis oleh: Fadiyah dan Muhammad Iqbal
Tulisan terkait:
"Mainan" Baru Candu Baru
Alternatif Baru Dari Ganja Alami
Rekam Jejak Ganja Sintetis
Payung Hukum Belum Kuat
Perbedaan Dari Yang Serupa
Comments
Post a Comment