Skip to main content

Membangun Lubang Hitam Bersama

Hitam. Bercak merah. Bercak merah tersebar menimpa kanvas yang beralaskan warna hitam.

Dari seluruh lukisan yang ada dalam galeri seni tersebut, mataku tak lepas dari yang satu ini. Ada hal yang menarikku jauh ke dalamnya.

“Apa yang kamu rasakan dari lukisan ini?” tanyanya.

“Dadaku seperti dipukul berkali-kali. Ia seolah mengisapku. Nampaknya, ia adalah rumahku, rumah yang enggan kuakui,” jawabku.

Kami pun cukup lama menatapnya, “aku tak kuat, mari pulang,” ujaku sembari menahan air mata dengan memaksakan diri tersenyum kepadanya.

**

Kau, tak jauh berbeda dari lukisan yang terpampang di Galeri Nasional sekitar satu tahun yang lalu. Kau, yang juga menemaniku kala itu.

Kau begitu indah, sekaligus menakutkan, selayaknya lukisan itu. Hitam dan merah. Dua warna favoritku. Kau pun begitu nyaman layaknya rumah.

Namun, bersama kau pula, aku tak berhenti menggali lubang, mencari jalan keluar. Akku terus menggali, tapi tak pernah kutemukan jalan keluar itu. Aku terus menggali, hingga terluka, berdarah. Aku terus menggali, hingga aku terjebak dalam lubang yang kubuat sendiri.

Aku terus menggali, hingga tersesat dalam lubang itu. Buntu. Cahaya pun semakin jauh. Semakin kumenggali, semakin redup cahaya itu. Gelap. Hitam.

“Cara kau menggali salah, kini kita terjebak,” ujarmu.

“Mungkin jika kita menggali arah yang berbeda, salah satu dari kita dapat menemukan jalan keluar,” balasku.

Kamu pun sepakat. Kamu menggali ke arah yang berbeda. Aku harap kau dapat menemukan jalan keluarmu, cahayamu, tanpa aku, karena aku payah dalam mencari jalan keluar.

Aku berhenti dan menikmati setiap luka yang kudapatkan dari proses penggalian selama ini. Lagi pula, aku pun terlalu letih untuk melanjutkan perjalanan. Biarkan kumelelapkan diri sesaat untuk menikmati semuanya sendiri. Biarkan luka ini kering terlebih dahulu, sebelum aku kembali melanjutkan galian ini.

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman...

Are We Really Change?

“You have changed” “You’re not the same person I used to know” “Now you’re just somebody that I used to know” Those lines that we used to hear in each critical conflict between couple, bestfriend, or I should said in a dramatical situation. Sometimes, change could be a big challenge, that you have to sacrifice something important in your life, saying yes to one thing that means no to many things, standing on the different perspective of your life. If we looked into how a person that totally out of shape of his body could turned into a deadly strong and shaped one. How? Sacrifice. He sacrifice his time, fatigue, he conquered himself to be a better one. He believed that you don’t have to be great to start, but you have to start to be great. He believed in progress, that everything has a process. The more he trained, the bigger progressed he will received. Train makes progress, progress makes perfect. The more you open your mind, the more often you change your perspecti...

Shattered Glass dan Jurnalistik

  Film Shattered Glass (2003) yang disutradai Billy Ray ini menceritakan tentang seorang jurnalis muda bernama Stephen Glass (Hayden Christensen) yang bekerja di New Republic. Harian New Republic ini lebih cenderung ke arah politik, dan menjadi media acuan para petinggi politik dan pihak kepresidenan. Film ini memberikan perspektif bagaimana cerita di ruang editorial koran ini sendiri. Ketegangan ini bermula ketika pihak hotel menelpon pihak koran mengenai detail dalam berita tulisan Stephen yang dinilai salah. Micheal, selaku editor dalam struktur redaksi tersebut, memanggil Stephen untuk memastikan tulisannya. Stephen akhirnya mengaku, dia tidak memverifikasi data tersebut kembali, melainkan hanya menyimpulkan apa yang dia lihat dan menjadikannya sebagai fakta untuk bahan berita. Micheal tidak memecat Stephen atas apa yang ia lakukan. Micheal memang dikenal dalam lingkup redaksi tersebut sebagai sosok editor yang selalu melindungi pegawainya atas karya-karya mereka, dan bertanggu...