Agresif merupakan kecenderungan seseorang untuk merespon dengan menyerang secara fisik ataupun mental. Menurut Murry, perilaku agresif ialah cara untuk melawan dengan sangat, melalui; berkelahi, melukai, menyerang, membunuh atau menghukum orang lain. Menurut Dill (1988), perilaku agresif adalah perilaku yang dilakukan berdasarkan pengalaman dan adanya rangsangan situasi tertentu sehingga menyebabkan seseorang itu melakukan tindakan agresif. Perilaku ini bisa dilakukan secara dirancang, seketika atau karena rangsangan situasi. Tindakan agresif ini biasanya merupakan tindakan anti sosial yang tidak sesuai dengan kebiasaan, budaya maupun agama dalam suatu masyarakat.
Perilaku agresif dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut terbagi atas biologi atau nature dan lingkungan atau nurture. Terdapat banyak teori dan pro-kontra atas perbedaan faktor tersebut. Ada beberapa teori yang mengatakan bahwa perilaku agresif sepenuhnya merupakan sifat dasar atau bawaan manusia, di sisi lain ada yang menyatakan bahwa perilaku agresif merupakan hasil bentukan dari lingkungan, ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan perpaduan keduanya. Menurut Sigmund Freud, perilaku agresif merupakan salah satu naluri dan sifat dasar dari manusia. Namun, pandangan bahwa hal tersebut merupakan bawaan secara biologis dikritik karena dalam pandangan “nature” ini, individu yang memang memiliki suatu naluri atau gen tidak akan memiliki tingkat perilaku agresif yang cenderung stabil dan tidak terpengaruh lingkungan atau tempat ia berada.
Bandura merupakan salah satu peneliti yang berada dipihak “nurture”. Ia mengemukakan sebuah teori, yakni social learning perspective, yang mengatakan bahwa perilaku agresif merupakan sesuatu yang dipelajari dan bukannya perilaku yang dibawa individu sejak lahir Perilaku agresif ini dipelajari dari lingkungan sosial separti interaksi dengan keluarga, interaksi dengan rekan sebaya dan media massa melalui modelling. Melalui lingkungan, salah satunya media massa, individu belajar tentang berbagai cara untuk menyakiti orang lain, kelompok mana yang tepat untuk target agresi, tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, serta situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif.
Media massa memainkan peranan penting dalam pandangan social learning perspective di mana ia dapat memaparkan pola-pola perilaku dan pola pikir baru kepada banyak orang secara serentak. Teori ini bahkan mempertimbangkan media massa sebagai agen-agen sosialisasi primer, seperti keluarga, teman sebaya, dan guru.
“The media may not only tell us what to think about, they also tell us how and what to think about, and perhaps even what to do about,” (McCombs, 1997). Sebuah kutipan yang menggambarkan kekuatan media untuk menjadi informasi tentang hal apa saja yang seharusnya dilakukan dan dipikirkan.
Dexter merupakan salah satu film serial di Amerika yang bercerita tentang kehidupan Dexter Morgan. Dexter merupakan seorang foreksik darah yang sudah terobsesi dengan darah sejak kecil. Ia melihat ibu kandungnya dibunuh dengan gergaji ketika ia berumur enam tahun. Ia tumbuh besar bersama ayah tirinya, Harry Morgan, dan adik perempuannya, Debra Morgan. Harry merupakan detektif di kepolisian Miami. Sejak kecil, Dexter didoktrin untuk untuk melawan orang-orang jahat, terutama pembunuh, oleh Harry dengan tujuan agar ia dapat menjadi seperti Harry. Harry merupakan sosok yang menjadi acuan Dexter untuk melakukan segala sesuatu, ia diajarkan untuk hanya membunuh orang yang melakukan tindak kriminal, dan sebagainya. Namun, Dexter justru tumbuh menjadi sosok yang berbeda dengan apa yang diharapkan Harry. Dexter menunjukkan kepada Harry sesosok pembunuh yang ia bunuh. Kala itu ia berumur empat belas tahun.
Ketika Harry sadar bahwa ia telah membangun sebuah perspektif yang salah kepada Dexter, dan ia telah membuat seorang “monster”, ia memberikan sebuah kode kepada Dexter. Kode ini mengandung sekelompok aturan atau etika dalam membunuh, di antaranya ialah ia hanya diperbolehkan mempunuh pembunuh, tidak boleh ada seorang pun yang mengetahuinya, dan lain-lain. Dexter menyebut kode tersebut sebagai Harry’s Code yang selalu dijadikan acuannya. Ketika Harry sudah meninggal, Dexter tetap membayangkan (skizofrenia) bahwa Harry selalu menasehati dia, mengobrol, memarahi, dan menemaninya.
Pembangunan karakter dalam film Dexter sangat kuat. Dexter digambarkan sebagai sosok yang dingin, cerdas, memiliki dua sisi (karakter ia di masyarakat dan ketika ia sendiri), serta keunikan-keunikan lain yang tergambar secara detail, seperti ia memiliki golongan darah yang sangat langka, yakni AB (-). Film ini pertama kali ditayangkan pada 1 Oktober 2006, dan menanyangkan episode terakhirnya pada 22 September 2013. Menurut Psychology Corner, ada beberapa faktor Dexter disukai banyak masyarakat, yakni normality di mana Dexter digambarkan sebagai ”a guy next door with a dirty secret”, dia terlihat sebagai sosok biasa saja yang mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya, tidak seperti tokoh pembunuh dalam film klasik. Ia juga memiliki trauma ketika kecil. Cerita ini juga memberikan alasan-alasan rasional atas tindakan yang terjadi. Dexter juga sangat “manusia” di mana ia dekat dengan rekan-rekan kantornya, adiknya, dan berkeluarga.
Film yang sebenarnya ditujukan untuk anak berumur di atas enam belas tahun ini, ternyata mengundang penonton dari berbagai kalangan, termasuk anak di bawah enam belas tahun. Terlebih, dengan ditayangkannya film serial ini di televisi wilayah Amerika Serikat, serta beberapa negara lainnya, pengaksesannya pun menjadi lebih luas dan terjangkau. Dampaknya, banyak orang yang kurang menyaring informasi yang didapatkannya, dan justru menganggap apa yang disajikan oleh film ini merupakan representasi dari nilai-nilai atau batasan dalam realitas. Secara tidak langsung, film ini pun turut membantu pembentukan apa yang baik atau buruk untuk dilakukan, siapa yang jahat dan baik, serta apa yang harus dilakukan ketika menemui kejahatan ataupun kebaikan. Film ini seolah membenarkan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan Dexter dengan alasan orang-orang yang ia bunuh ialah pembunuh. Pecinta film ini seringkali menyebut Dexter sebagai “Dark Angel”. Penggunaan kata angel seolah memposisikan Dexter sebagai tokoh yang pada dasarnya melakukan hal yang baik.
Terdapat beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan dengan alasan terinspirasi dari Dexter ataupun terobsesi menjadi Dexter. Anthony Conley, remaja berusia tujuh belas tahun asal Indiana, membunuh adiknya yang masih berusia sepuluh tahun pada tahun 2009 dengan alasan terinspirasi dari Dexter. Ia merasa mirip dengan Dexter ketika melakukan pembunuhan tersebut, walaupun keesokan harinya ia menyerahkan dirinya ke kepolisian. Ia merasa menjadi seperti Dexter ketika ia membunuh adiknya, ia juga mengatakan bahwa ia memang ingin mengetahui rasanya membunuh seseorang.
Kejadian lain terjadi di Alberta, Kanada, di mana seorang lelaki, Mark Twitchell, membunuh pacarnya, Elizabeth Thomas, yang berumur tujuh belas tahun dengan menusuk, lalu memotong-motong tubuhnya dan memasukannya ke dalam beberapa plastik. Teknik pembunuhan ini juga terinspirasi dari Dexter. Bahkan dalam salah satu file-nya, ditemukan tulisan darinya yang menjelaskan bahwa pembunuhan yang ia lakukan merupakan sebuah progress untuk menjadi pembunuh berantai. Mark Howe merupakan tokoh lain yang terinspirasi dari film Dexter ketika membunuh ibu kandungnya di Inggris. Ada lagi Jessica Lopez yang mencekik wanita lain dengan alasan ia yakin bahwa Dexter telat berbicara dan membunuh melaluinya.
”Dexter has a horrifying track record of inspiring acts of violence in the real world.” ungkap Kristine Marsh. Banyak kejadian pembunuhan yang prosesnya, teknik penculikan, pembersihan jejak, dan sebagainya, terinspirasi dari film Dexter. Bahkan, beberapa pembunuhan dilakukan dengan alasan mereka ingin menjadi atau merasakan seperti Dexter. Beberapa dari orang-orang tersebut justru merasa perbuatannya bukanlah hal yang salah karena mereka berpatokan pada Dexter. Dexter secara tidak langsung memberikan standar baru terhadap nilai-nilai atau batasan dari agresif layaknya yang dibahas pada pandangan social learning perspective.
Jadi, dalam pandangan social learning perspective, individu belajar tentang berbagai cara untuk menyakiti orang lain, salah satunya melalui pembunuhan. Pembunuhan dianggap sebagai hal yang wajar selama orang yang dibunuh memang pantas untuk dibunuh. Berdasarkan Dexter, orang yang pantas dibunuh merupakan orang yang memiliki riwayat kejahatan. Dexter juga memberikan standar tentang siapa saja yang pantas dibunuh, serta bagaimana seorang pembunuh harus membuat “mahakarya” atau pembunuhannya dengan penuh rencana dan rapi.
Referensi:
http://cnsnews.com/mrctv-blog/kristine-marsh/teen-confesses-killing-dismembering-girlfriend-another-dexter-inspired diakses pada 14 Maret 2016 pukul 13.02
http://www.kanalaceh.com/2016/01/29/7-pelaku-kejahatan-yang-terinspirasi-dari-film/ diakses pada 14 Maret 2016 pukul 13.06
https://www.psychologytoday.com/blog/shadow-boxing/201401/the-dexter-murders diakses pada 14 Maret 2016 pukul 13.14
http://www.dailymail.co.uk/news/article-1312182/Teenager-inspired-TV-Dexter-murder-brother.html diakses pada 14 Maret 2016 pukul 13.18
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/350d40edc66e2a381a752512210a8d6d.pdf diakses pada 14 Maret 2016 pukul 13.21
http://psychologycorner.com/10-psychological-reasons-why-we-like-dexter-morgan/
diakses pada 14 Maret 2016 pukul 13.33
Comments
Post a Comment