Skip to main content

Media Massa dan Perkembangan Gerakan Perempuan

  Pada masa orde baru, teriakan para aktivis tentang kegiatan yang berbau feminisme dan penyetaraan gender belumlah sekeras sekarang. Aksi-aksi, demonstrasi, dan diskusi berkaitan dengan isu-isu perempuan di Indonesia baru hadir setelah maraknya pemberitaan yang mengangkat isu-isu tentang perempuan dari luar negeri, terutama pasca diadakannya Konferensi Perempuan Internasional di Beijing tahun 1995. Konferensi tersebut melahirkan Deklarasi Beijing dengan dua belas butir yang menjadi pokok persoalan, meliputi anak perempuan, perempuan dan pendidikan, perempuan dan ekonomi, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dan kesehatan, perempuan dan media, perempuan dan lingkungan, hak asasi manusia, perempuan, kekuasaan, dan pengambilan keputusan, perempuan dan kemiskinan, perempuan dan konflik bersenjata, serta institusi untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.
  Pasa akhir masa orde baru, banyak lahir kaum-kaum oposisi pemerintah, hal ini di antaranya akibat dari terpaan media massa yang menginspirasi mereka untuk melakukan gerakan-gerakan yang ditayangkan di media dan terjadi di kawasan yang berbeda. Menurut William Gamson (2004), hal semacam ini disebut dengan frame master, di mana peristiwa di suatu tempat yang kemudian mengilhami aktivis gerakan untuk melakukan aksi yang serupa. Kejadian serupa terlihat jelas kala runtuhnya orde baru. Aksi gerakan mahasiswa di berbagai kota tidak lepas dari peran media massa yang seringkali menyiarkan perkembangan gerakan mahasiswa di Philipina yang mununtut diturunkannya Ferdinand Marcos pada 1986, dan aksi mahasiswa Cina yang menentang pemerintahan sosialis pada 1989. Ditambah dengan kelompok masyarakat sipil yang didominasi oleh LSM dan relatif independen. Hal ini juga melahirkan oposisi kelas menengah, seperti para aktivis kampus, kaum profesional, jurnalis, seniman, pengacara, dan kalangan akademisi.
  Setelah turunnya Orde Baru, isu-isu yang sebelumnya terpinggirkan, terangkat kembali, di antaranya ialah isu-isu hak asasi manusia, dan perempuan. Di dunia sendiri, isu tentang perempuan barulah lahir pasca perang dingin antara Amerika dan Rusia. Hal tersebut bermula dari gemparnya pemberitaan tentang tragedi penyiksaan dan pembunuhan Patricia dan Maria Theresa Mirabel oleh penguasa Republik Dominika pada tanggal 25 November 1960. Berita tersebut mendorong perempuan di berbagai pejuru dunia untuk menggalang solidaritas bersama atas kekerasan yang menimpa perempuan.
  Tragedi demi tragedi, diikuti kampanye demi kampanye, disebarkan oleh media massa dan menyadarkan semakin banyak perempuan. Lahir dan berkembanglah banyak partisipan, komunitas, dan organisasi yang menyuarakan isu-isu untuk melindungi perempuan. Hal ini juga melahirkan Konferensi Perempuan Internasional I di Mexico City pada 1975, Konferensi Perempuan II di Belanda pada 1980, Konferensi Perempuan III di Nairobi pada 1985, serta Konferensi Perempuan IV di Beijing pada 1995.
  Isu perempuan terbagi atas isu praktis dan isu strategis. Isu strategis lebih fokus pada kesulitan yang dijalankan perempuan dalam menjalankan fungsinya, dan mempersoalkan kesehatan, kebutuhan sanitasi lingkungan, air bersih, dan pemenuhan kebutuhan pangan. Isu strategis identik dengan isu-isu feminis, seperti penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pemberian kesempatan di bidang politik, termasuk aborsi.
  Pada awalnya, isu yang sering disorot di Indonesia ialah kekerasan terhadap perempuan. Hal ini kemudian melahirkan organisasi-organisasi perempuan yang menangani permasalahan seputar isu wanita, di antaranya Gerakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia (GAKTPI). Isu-isu yang diangkat media pun meluas, ketika mendekati pemilu, media massa memaparkan banyak pembahasan politik, diantaranya kesadaran dan kaitan politik dengan perempuan. Bahkan melalui isu-isu yang disebarkan, media massa mampu memengaruhi pemerintah untuk menerapkan kuota 30% bagi perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan.
  Menjelang Pemilu 2004, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Yogyakarta menggunakan surat kabar sebagai media untuk menyadarkan masyarakat dan menguatkan gak politik perempuan melalui tulisan di bagian kolom surat kabar Bernas. Persoalan yang diangkat diantaranya ialah tentang kuota tiga puluh persen untuk perempuan di lembaga pengambilan keputusan, arti penting melibatkan perempuan dalam forum rembug desa, dan bahwa perempuan memiliki karakter politik yang diperlukan di bidang politik.
  Kesadaran publik akan arti keadilan gender juga sering disuarakan oleh LSM Sehati di Yogyakarta melalui televisi lokal, surat kabar, dan radio. Menurut Sehati, penggunaan media massa lebih efektif sebagai media kampanye daripada merumuskan rekomendasi yang tebal. Selain itu, organisasi perempuan lain, yakni Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) di Yogyakarta menggunakan media siaran radio untuk melakukan dialog interaktif untuk penyadaran masyarakat dan pendidikan politik untuk buruh perempuan.
  “Kita selalu mengikuti perkembangan lewat media. Isu-isu kesehatan reproduksi, hasil Konferensi Beijing itu kita tahu dari media massa,” ujar salah seorang aktivis di Yogyakarta.
  Kampanye dan penyadaran akan pentingnya posisi perempuan dalam aktivitas politik melahirkan banyak caleg perempuan. Kehadiran mereka kemudian disadari oleh salah satu LSM Internasional di Jakarta, yakni Asia Foundation. Akhirnya, lembaga ini menangani para caleg perempuan dengan memberikan pembekalan serta pencitraan melalui media massa.hal tersebut dilakukan untuk mengangkat dan “menjual” nama mereka.
  Pemberitaan di media juga mempererat hubungan antar organisasi atau komunitas dalam bentuk kegiatan bersama, dialog, solidaritas, dan tukar menukar dukungan. Jaringan transnasional menyatukan kaum perempuan dari berbagai agenda bersama, seperti hak asasi perempuan, kritik feminisme atas kebijakan ekonomi, perdamaian dan anti-militerisme, kesehatan, dan hak-hak reproduksi. Jaringan feminis transnasional ini menyatukan wacana dan aksi di tingkat lokal, regional, dan global.
  Media massa memiliki kemampuan besar untuk membentuk dan menggerakan sekelompok orang melalui pemberitaan-pemberitaan yang dihadirkannya. Pemberitaan atau isu yang diangkat oleh media massa ternyata mampu menginspirasi dan menghadirkan gerakan yang serupa di tempat yang berbeda. Hal ini terlihat jelas dari bagaimana gerakan perempuan atau feminisme berkembang dengan pesat di dunia, maupun di Indonesia sendiri. Kesadaran akan kekuatan media massa pun disadari oleh organisasi-organisasi perempuan dan dipergunakan untuk kampanye dan menyuarakan gerakan-gerakan keadilan perempuan.

Daftar Pustaka:
http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/24 

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman...

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare...

Shattered Glass dan Jurnalistik

  Film Shattered Glass (2003) yang disutradai Billy Ray ini menceritakan tentang seorang jurnalis muda bernama Stephen Glass (Hayden Christensen) yang bekerja di New Republic. Harian New Republic ini lebih cenderung ke arah politik, dan menjadi media acuan para petinggi politik dan pihak kepresidenan. Film ini memberikan perspektif bagaimana cerita di ruang editorial koran ini sendiri. Ketegangan ini bermula ketika pihak hotel menelpon pihak koran mengenai detail dalam berita tulisan Stephen yang dinilai salah. Micheal, selaku editor dalam struktur redaksi tersebut, memanggil Stephen untuk memastikan tulisannya. Stephen akhirnya mengaku, dia tidak memverifikasi data tersebut kembali, melainkan hanya menyimpulkan apa yang dia lihat dan menjadikannya sebagai fakta untuk bahan berita. Micheal tidak memecat Stephen atas apa yang ia lakukan. Micheal memang dikenal dalam lingkup redaksi tersebut sebagai sosok editor yang selalu melindungi pegawainya atas karya-karya mereka, dan bertanggu...