Skip to main content

Nikmatilah Lara

Terlalu nyaman aku dipeluk realitas ini di mana jiwa dan raga selalu mengarung dalam ruang dan waktu yang sama. Terjeruji dalam sebuah dimensi ilusi di mana segalanya bergerak dengan alunan yang teratur.Sebuah rekonstruksi realitas yang selalu membuatku menjadi Aku yang utuh. Dimensi yang terlalu nyaman hingga seringkali membuatku mengabaikan keberadaannya, terlalu terbiasa. Perhatian hanya jatuh kepadaku sebagai pusat dari realitasku sendiri, satu-satunya subjek.

Jarum jam masih bergerak sesuai dengan hitunganku, cahaya dan gelombang suara masih menampariku dengan kekuatan dan tempo yang sama. Normal. Segalanya berjalan sebagaimana semestinya, hingga jarum jam melangkah melewati tengah malam. Hari terganti.Aku, sebagai eksistensi yang utuh dan dapat terlihat dari berbagai panjang gelombang, masih duduk santai dan bercengkrama dengan rekan-rekanku menghadap perapian. Malam itu terasa lebih menusuk dari biasanya. Kilauan cahaya jingga dari lampu-lampu yang berdiri tegas terpantul ke segala arah. Cahayanya membangun suasana rumah yang hangat, ditemani alunan gelombang nada yang bertebaran dari setiap petikan senar gitar klasik. Kopi hitam pahit pun mengimbangi suasana malam itu. Aku hanya tahu satu hal, aku sedang bahagia saat itu. Bahagia akan kesederhanaan yang tercipta dari pantulan-pantulan cahaya jingga lampu itu. Persetan dengan dingin yang menusuk, luapan tawa dari candaan receh pun mampu melupakan kenyataan akan dinginnya udara tersebut. Realitas, atau setidaknya ilusiku tentang realitas, selalu mampu membuatku terkagum akan hal-hal kecil.Namun, ada perasaan janggal pada malam itu seolah ada tamu yang datang menemani kami tanpa kami sadari. Entah ia berasal dari dimensi mana, bahkan panca indra-ku tak mampu menangkap keberadaannya.

Sesuatu secara tiba-tiba menarikku. Tanpa izin, tanpa permisi.Ia menarik jiwa dan pikiranku secara paksa dan mendadak. Aku dibawa menuju waktu lampau dengan ruang yang sama, raga tertinggal di masa yang sebenernya. Aku masih tertanam dalam ragaku, sekat waktu memisahkan kami. Segalanya melambat dan tak terkontrol. Jiwaku menangis dan berteriak, tapi tak ada air mata maupun suara yang terlepas dari tubuhku. Tak ada yang mendengar, apalagi mengetahuinya. Ah, dunia ini memang lucu, keseringan konyol. Ia terlalu sering berkonspirasi untuk mempermainkanku. Hanya saja kali ini permainannya terlalu serius. Ia menarikku ke titik aku ragu akan eksistensi dan esensiku sendiri. Jujur saja, aku takut. Aku takut jiwa dan pikiranku selamanya tertinggal oleh waktu. Semakin cepat aku mengejarnya, semakin cepat pula ia berlari dan menjauh. Ragaku kini berada di waktu yang jauh di depanku, ia berada bersama teman-temanku, keluarga, sepatu, kunci, papan tulis, sabun, minuman hangat, anjing, kampus, dan bantal. 

Pikiranku bertempur dengan jiwaku. Sebuah pertempuran yang berlangsung selama ratusan dekade. Anehnya, api yang menari di atas perapian masih tetap menyala dan menari temaniku. Ia telah lama menari, jauh sebelum hari ini lahir. Kami mencoba untuk bercengkrama, aku melalui pikiranku, ia melalui tariannya. Sebuah kesepakatan yang tercipta begitu saja. Percakapan yang sama, dengan dimensi yang sama, tapi jalur yang berbeda. Perlahan fokusku berpindah, aku tak lagi mengejar waktu. Aku hanya mengikuti alunan gelombang waktu, perlahan, hingga kularut dan tenggelam di dalamnya. Damai, segalanya terasa lebih tenang. Perang telah usai. Lara, betapa lugu. Semakin dilawan justru semakin sakit. Ketika menyerah kepadanya, justru lahir nikmat. 

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman...

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare...

Shattered Glass dan Jurnalistik

  Film Shattered Glass (2003) yang disutradai Billy Ray ini menceritakan tentang seorang jurnalis muda bernama Stephen Glass (Hayden Christensen) yang bekerja di New Republic. Harian New Republic ini lebih cenderung ke arah politik, dan menjadi media acuan para petinggi politik dan pihak kepresidenan. Film ini memberikan perspektif bagaimana cerita di ruang editorial koran ini sendiri. Ketegangan ini bermula ketika pihak hotel menelpon pihak koran mengenai detail dalam berita tulisan Stephen yang dinilai salah. Micheal, selaku editor dalam struktur redaksi tersebut, memanggil Stephen untuk memastikan tulisannya. Stephen akhirnya mengaku, dia tidak memverifikasi data tersebut kembali, melainkan hanya menyimpulkan apa yang dia lihat dan menjadikannya sebagai fakta untuk bahan berita. Micheal tidak memecat Stephen atas apa yang ia lakukan. Micheal memang dikenal dalam lingkup redaksi tersebut sebagai sosok editor yang selalu melindungi pegawainya atas karya-karya mereka, dan bertanggu...