Terlalu nyaman aku dipeluk realitas ini di mana jiwa dan raga selalu mengarung dalam ruang dan waktu yang sama. Terjeruji dalam sebuah dimensi ilusi di mana segalanya bergerak dengan alunan yang teratur.Sebuah rekonstruksi realitas yang selalu membuatku menjadi Aku yang utuh. Dimensi yang terlalu nyaman hingga seringkali membuatku mengabaikan keberadaannya, terlalu terbiasa. Perhatian hanya jatuh kepadaku sebagai pusat dari realitasku sendiri, satu-satunya subjek.
Jarum jam masih bergerak sesuai dengan hitunganku, cahaya dan gelombang suara masih menampariku dengan kekuatan dan tempo yang sama. Normal. Segalanya berjalan sebagaimana semestinya, hingga jarum jam melangkah melewati tengah malam. Hari terganti.Aku, sebagai eksistensi yang utuh dan dapat terlihat dari berbagai panjang gelombang, masih duduk santai dan bercengkrama dengan rekan-rekanku menghadap perapian. Malam itu terasa lebih menusuk dari biasanya. Kilauan cahaya jingga dari lampu-lampu yang berdiri tegas terpantul ke segala arah. Cahayanya membangun suasana rumah yang hangat, ditemani alunan gelombang nada yang bertebaran dari setiap petikan senar gitar klasik. Kopi hitam pahit pun mengimbangi suasana malam itu. Aku hanya tahu satu hal, aku sedang bahagia saat itu. Bahagia akan kesederhanaan yang tercipta dari pantulan-pantulan cahaya jingga lampu itu. Persetan dengan dingin yang menusuk, luapan tawa dari candaan receh pun mampu melupakan kenyataan akan dinginnya udara tersebut. Realitas, atau setidaknya ilusiku tentang realitas, selalu mampu membuatku terkagum akan hal-hal kecil.Namun, ada perasaan janggal pada malam itu seolah ada tamu yang datang menemani kami tanpa kami sadari. Entah ia berasal dari dimensi mana, bahkan panca indra-ku tak mampu menangkap keberadaannya.
Sesuatu secara tiba-tiba menarikku. Tanpa izin, tanpa permisi.Ia menarik jiwa dan pikiranku secara paksa dan mendadak. Aku dibawa menuju waktu lampau dengan ruang yang sama, raga tertinggal di masa yang sebenernya. Aku masih tertanam dalam ragaku, sekat waktu memisahkan kami. Segalanya melambat dan tak terkontrol. Jiwaku menangis dan berteriak, tapi tak ada air mata maupun suara yang terlepas dari tubuhku. Tak ada yang mendengar, apalagi mengetahuinya. Ah, dunia ini memang lucu, keseringan konyol. Ia terlalu sering berkonspirasi untuk mempermainkanku. Hanya saja kali ini permainannya terlalu serius. Ia menarikku ke titik aku ragu akan eksistensi dan esensiku sendiri. Jujur saja, aku takut. Aku takut jiwa dan pikiranku selamanya tertinggal oleh waktu. Semakin cepat aku mengejarnya, semakin cepat pula ia berlari dan menjauh. Ragaku kini berada di waktu yang jauh di depanku, ia berada bersama teman-temanku, keluarga, sepatu, kunci, papan tulis, sabun, minuman hangat, anjing, kampus, dan bantal.
Pikiranku bertempur dengan jiwaku. Sebuah pertempuran yang berlangsung selama ratusan dekade. Anehnya, api yang menari di atas perapian masih tetap menyala dan menari temaniku. Ia telah lama menari, jauh sebelum hari ini lahir. Kami mencoba untuk bercengkrama, aku melalui pikiranku, ia melalui tariannya. Sebuah kesepakatan yang tercipta begitu saja. Percakapan yang sama, dengan dimensi yang sama, tapi jalur yang berbeda. Perlahan fokusku berpindah, aku tak lagi mengejar waktu. Aku hanya mengikuti alunan gelombang waktu, perlahan, hingga kularut dan tenggelam di dalamnya. Damai, segalanya terasa lebih tenang. Perang telah usai. Lara, betapa lugu. Semakin dilawan justru semakin sakit. Ketika menyerah kepadanya, justru lahir nikmat.
Pikiranku bertempur dengan jiwaku. Sebuah pertempuran yang berlangsung selama ratusan dekade. Anehnya, api yang menari di atas perapian masih tetap menyala dan menari temaniku. Ia telah lama menari, jauh sebelum hari ini lahir. Kami mencoba untuk bercengkrama, aku melalui pikiranku, ia melalui tariannya. Sebuah kesepakatan yang tercipta begitu saja. Percakapan yang sama, dengan dimensi yang sama, tapi jalur yang berbeda. Perlahan fokusku berpindah, aku tak lagi mengejar waktu. Aku hanya mengikuti alunan gelombang waktu, perlahan, hingga kularut dan tenggelam di dalamnya. Damai, segalanya terasa lebih tenang. Perang telah usai. Lara, betapa lugu. Semakin dilawan justru semakin sakit. Ketika menyerah kepadanya, justru lahir nikmat.
Comments
Post a Comment