Suara rakyat Papua, saudara satu bendera kami, semakin lama, semakin memudar, hingga perlahan menghilang dan terlupakan. Website yang menjadi lahan mereka untuk berdialog dengan wilayah luar diblokir satu persatu dengan himbauan “Internet Sehat dan Aman”. Pertanyaannya, sehat dan aman bagi siapa? Mencari informasi tentang Papua menjadi hal yang sulit. Setiap berita yang lahir keluar dari mulut mereka yang berada di pihak pemerintahan. Tidak seimbangnya informasi yang beredar merekonstruksi realitas kejadian yang mewarnai Papua hanya dari satu sisi. Masyarakat terasa sulit untuk mendapatkan informasi yang utuh dan jelas soal keberadaannya. Sulitnya mencari informasi ini sebenarnya lahir dari sulitnya akses dan birokrasi para wartawan untuk meliput dan mencari informasi di Papua. Rumitnya birokrasi yang ditawarkan seolah melarang para wartawan untuk melihat secara langsung kejadian yang sebenarnya. Dua wartawan asal Perancis pernah tertangkap karena masuk wilayah Papua tanpa izin dan ditahan selama sebelas bulan.
Bermula dari mereka, masyarakat Papua, yang menyuarakan kemerdekaan melalui Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Gerakan ini telah berlangsung cukup lama dan menghangat kembali pada tahun 2015. Website yang berkaitan dengan perbincangan pelepasan Papua dari Indonesia, serta kekejaman dan tidak berlakunya hak asasi manusia yang disepakati oleh negara Indonesia di Papua. Protes-protes juga terus mengalir. Bentrok antara pihak pemberontak dan pemerintah seolah tak pernah ada akhirnya. Tanah kering di sana juga tak henti menyerap rembasan darah yang pecah akibat ditembaknya masyarakat oleh aparat. Hingga lahir titik di mana banyak pihak dan lembaga masyarakat (dari pihak luar Papua sendiri) yang meminta pemerintah agar lebih membuka informasi tentang masyarakat Papua, dan mempermudah pengaksesan informasi itu sendiri. Hak-hak itu sendiri hingga kini masih terasa sulit.
Hadirnya wartawan di sana seringkali juga tidak menghasilkan informasi yang seimbang terkait kejadian di Papua sendiri. Hal tersebut dikarenakan mereka yang terbiasa menjadi sumber ataupun narasumber merupakan mereka yang berada di pihak pemerintahan. Andreas Harsono juga menyebut kelemahan lain dari sulitnya mengkaji informasi yang utuh dan benar tekait dengan isu di Papua ialah karena kurang adanya wartawan profesional yang dikirim kesana, lebih seringnya hanya sebatas parachouting journalist, atau mereka yang datang hanya sebentar, kemudian pulang. Hal ini menghadirkan informasi yang sama dan tidak mendalam.
Jokowi sendiri seringkali dipertanyakan terkait masalah Papua ini. Pasalnya, sewaktu kampanye tahun 2014, ia pernah mengatakan bahwa ia akan mengakhiri pembatasan ke Papua jika ia terpilih untuk memimpin negara ini.
Kejelasan tentang berbagai kejadian yang ada di Papua masih ditunggu oleh masyarakat Indonesia dalam rangka terpenuhinya hak memperoleh informasi sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, yakni “bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Sumber:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141101122645-20-9215/dua-wartawan-sudah-kembali-ke-perancis/ diakses pada 8 Juni 2016 pukul 10.45
http://www.remotivi.or.id/wawancara/96/Andreas-Harsono:-Tak-Ada-Jurnalisme-Independen-di-Papua diakses pada 8 Juni 2016 pukul 10.42
http://www.antaranews.com/en/news/98893/foreign-media-should-obtain-permits-to-cover-papua-chief-minister diakses pada 8 Juni 2016 pukul 10.48
http://www.aljazeera.com/video/asia-pacific/2014/12/indonesia-papua-home-forgotten-struggle-201412841012532163.html diakses pada 8 Juni 2016 pukul 10.53
Comments
Post a Comment