Skip to main content

Detik

Kau yang selalu menjadi tirani teratas
Sungguh aneh keberadaanmu. Kau yang memaksaku untuk selalu berjalan tanpa henti. Ketika kucoba tidur, kau lenyap.

Ku kembali berlari mengejarmu, sebuah rutinitas yang seolah tak pernah lepas dariku.
Entah aku yang terlalu lamban atau memang kau yang bergerak terlalu cepat. Cepat bahkan kurang cepat untuk menggambarkan kecepatanmu. Yang kutahu kau telah mampu memisahkanku dari aku yang lama. Menjadikanku yang lama momok bagi diriku. Dia yang berdiri di hadapan kaca menangisi tubuhnya yang berkelok mengikuti garis tulang. Setiap tonjolan tulangnya terlihat jelas. Atau dia yang membuang air mata ketika melihat orang tuanya berpisah. Murah sekali tetesan air matanya. Dia yang menjadi bahan ejekan karena warna kulitnya berbeda. Dia yang ditinggalkan karena tidak seiman. Dia yang selalu canggung. Bodoh dalam mengambil keputusan. Selalu dijadikan boneka yang murah dan mudah digantikan. Selalu percaya dengan setiap kepala yang beredar di sekitarnya. Mengapa aku jadi membenci dia? Karena sekat tipis yang kau dirikan di antara kami kini menebal dan menjadi labyrinth. Terlalu sulit untuk kembali dan menyusuri labyrinth untuk menemukannya. Aku lebih baik bergerak bersamamu ke depan, berpura-pura tak melihat aku yang di belakang.

Pernah sesekali aku memasuki labyrinth untuk menemukan aku yang lama. Sebuah labyrinth penderitaan dengan penuh duri. Duri, bagian yang tumbuh untuk melindungi diri. Mengapa ia menutupi dan melindungi dirinya dari aku? Padahal aku menjadi aku karena dia. Dia yang telah memahat dan melicinkanku. Entah berapa lama aku tersesat dalam labyrinth itu, dan entah berapa duri yang telah menancap kulitku. Semakin lama kulitku justru mati rasa. Tiada lagi rasa perih atau lara yang lahir dari tusukan duri. Yang menghentikanku justru rasa lapar dan lemas. Dilema antara melanjutkan perjalanan yang tak jelas ujungnya atau kembali bersamamu. Ah, memang kau licik. Pantas saja ku tak pernah menemukan dia. Sepanjang aku mencari, kau memperbesar dan meningkatkan kompleksitas dari labyrinth ini
.

Comments

Popular posts from this blog

Danau Buatan

Kuselalu membayangkannya sebagai lautan. Namun, ia tak ubahnya hanyalah sebuah danau buatan. Seketika, danau tersebut menarikku ke memori 14 tahun yang lalu. Kala itu, aku masih mengenakan seragam putih-abu, duduk di batu yang sama, dengan kekasih yang berbeda. Dalam percakapan itu, aku berkisah tentang ketakutanku memasuki dunia kuliah, ketakutanku akan sebuah perubahan, ketakutanku menjadi dewasa. Aku menangis terisak-isak. Ia merangkul dan menenangkanku. Tak lama, ada seorang anak berjualan tisu. Kami pun serentak tertawa. “Kayaknya kamu sangat butuh ini,” ujarnya. Ia menyeka air mataku dengan tisu kering yang baru dibelinya dari bocah seharga Rp 5.000. Ia memelukku, seketika tangisku pun berubah menjadi tawa. Mengingat segalanya kembali, dalam ruang yang sama, dengan waktu yang berbeda, membuatku menyadari seberapa lugunya kisahku dan ia di masa lalu, seberapa membahagiakannya. Mengingatnya kembali, membuatku rindu pada momen itu. Aku tak mungkin rindu pada lelaki itu,...

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman...

Rekam Jejak Ganja Sintetis

Mendengar dan mendapat informasi dari beberapa pengguna, seperti R dan T tentang penggunaan ganja sintetis. Mereka mengatakan bagaimana mendapatkan “barang” (ganja sintetis) itu dan keduanya mengakui betapa mudah mendapatkannya. Dari sana, kami menelusuri sebenarnya bagaimana awal mula atau rekam jejak mengenai ganja sintetis ini. Sebagai aktivis yang bergerak untuk melegalkan ganja, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN), mengaku pernah mendapatkan ganja sintetis ini sekitar tahun 2012 yang ia dapatkan dari temannya. Ia pun mengaku tertipu karena ternyata efek yang dihasilkan berbeda dari yang alami. Baginya ganja sintetis itu lebih berbahaya. “Ya, pertama kali make ketipu di tahun 2012 dibawa sama temen dibilangnya ganja. Ketika saya pakai awalnya gelap. Rasanya seperti melihat langit tapi kayak cahaya-cahaya. Saya jadi parno, mau balik ke dunia biasa gak bisa dan saya ketakutan. Cuma 5-10 menit dan hilang. Saya gak mau make lagi, yang pasti itu berbahaya karena k...