Skip to main content

Danau Buatan


Kuselalu membayangkannya sebagai lautan. Namun, ia tak ubahnya hanyalah sebuah danau buatan.

Seketika, danau tersebut menarikku ke memori 14 tahun yang lalu. Kala itu, aku masih mengenakan seragam putih-abu, duduk di batu yang sama, dengan kekasih yang berbeda.

Dalam percakapan itu, aku berkisah tentang ketakutanku memasuki dunia kuliah, ketakutanku akan sebuah perubahan, ketakutanku menjadi dewasa. Aku menangis terisak-isak. Ia merangkul dan menenangkanku. Tak lama, ada seorang anak berjualan tisu. Kami pun serentak tertawa.

“Kayaknya kamu sangat butuh ini,” ujarnya.

Ia menyeka air mataku dengan tisu kering yang baru dibelinya dari bocah seharga Rp 5.000. Ia memelukku, seketika tangisku pun berubah menjadi tawa.

Mengingat segalanya kembali, dalam ruang yang sama, dengan waktu yang berbeda, membuatku menyadari seberapa lugunya kisahku dan ia di masa lalu, seberapa membahagiakannya.

Mengingatnya kembali, membuatku rindu pada momen itu. Aku tak mungkin rindu pada lelaki itu, kami sudah berbeda, segalanya pun sudah berubah. Namun, aku rindu keluguan yang ada dalam hubungan kami kala itu. Keluguan yang kutahu telah lenyap selepas memasuki dunia kuliah.

Tepat seperti ketakutanku kala itu, segalanya akan berubah. Segalanya pun berubah, entah menjadi lebih baik atau buruk. Namun, nyatanya, tak ada yang mengerikan dari perubahan tersebut. Bahkan, aku tak benar-benar merasakan adanya perubahan, hingga aku melihat ke belakang dan menyadari seberapa jauh kutelah melangkah dari diriku yang lama.

Kini, di ruang yang sama, aku berpaling ke kiri, melihat ke suamiku. “Dulu, awal kuliah, aku suka pacaran di sini,” ujarnya tersenyum menatap danau.

Aku tersenyum mendengarnya. Kami memutar ulang kenangan yang berbeda dalam ruang yang sama.

Di belakang kami, kedua anak kami pun sedang secara gantian mengejar satu sama lain sambil tertawa. Kuharap mereka pun dapat memotret kenangan mereka tersendiri yang indah di ruang ini.

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman...

Rekam Jejak Ganja Sintetis

Mendengar dan mendapat informasi dari beberapa pengguna, seperti R dan T tentang penggunaan ganja sintetis. Mereka mengatakan bagaimana mendapatkan “barang” (ganja sintetis) itu dan keduanya mengakui betapa mudah mendapatkannya. Dari sana, kami menelusuri sebenarnya bagaimana awal mula atau rekam jejak mengenai ganja sintetis ini. Sebagai aktivis yang bergerak untuk melegalkan ganja, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN), mengaku pernah mendapatkan ganja sintetis ini sekitar tahun 2012 yang ia dapatkan dari temannya. Ia pun mengaku tertipu karena ternyata efek yang dihasilkan berbeda dari yang alami. Baginya ganja sintetis itu lebih berbahaya. “Ya, pertama kali make ketipu di tahun 2012 dibawa sama temen dibilangnya ganja. Ketika saya pakai awalnya gelap. Rasanya seperti melihat langit tapi kayak cahaya-cahaya. Saya jadi parno, mau balik ke dunia biasa gak bisa dan saya ketakutan. Cuma 5-10 menit dan hilang. Saya gak mau make lagi, yang pasti itu berbahaya karena k...