Skip to main content

Hey Kamu!

Hey kamu yang sedang terluka!
Mengapa kau menutupinya?
Malam itu kau teteskan air mata tulusmu.
Kukira kau hendak tunjukkan luka itu.
Tapi tidak.
Kau menunjukkanku sebuah luka indah yang baru saja kau bangun sendiri.
Setiap lekukan, pondasi, lorong, hingga atap kau bangun dengan sedemikian apiknya.
Sangat apik hingga ku terlarut dan teresap dalam pedih itu.
Kutawarkan panasea, kau kata tak ada gunanya.

Hingga mataku terbuka dan tersadar bahwa luka yang baru kau bangun merupakan simbol perkenalan untukku.
Sebuah mahakarya yang perih.
Terasa begitu nyata hingga setiap goresannya terukir di tubuhku.
Pantaskah kumarah karena kau gambarkan sebuah lukisan penderitaan di tubuh jiwaku?
Atau kuharus berterima kasih atas keindahan ukiran pedih yang kelak akan menjadi nikmat kau kata.

Semakin lama semakin hilang kemampuanku dalam mengendalikan kesadaran, hingga

Getaran suaraku tak mampu lari dari tenggorokanku.
Mataku tak mampu menangkap kilauan cahaya maupun warna lagi.
Telingaku menjadi tuli. Tanganku mati rasa bahkan untuk merasakan tali tambang yang kau ikatkan begitu kencang di pergelanganku.

Tiada lagi panas maupun dingin,
Hitam maupun putih,
Keras maupun lembut,
Benci maupun cinta,
Material maupun immaterial,
Jiwa maupun tubuh,
Semuanya menjadi eksistensi yang satu.

Barulah kau tunjukkan padaku lukamu yang sebenarnya.
Kau memberiku sebuah luka agar aku dapat mengerti lukamu rupanya.
Agar kudapat merasakan pahit yang kau rasakan.

Sungguh, setiap lara dalam sayatan ini menjadi nikmat kala kau berkata kita menumbuhkan hal yang sama, kita memiliki ukiran yang sama.

Ternyata kepulihan itu datang ketika dua keperihan bersapa.
Kebahagiaan itu tumbuh dalam ladang kesengsaraan.
Dan kenikmatan itu menjadi nyata ketika kita terkubur dalam tanah hitam yang sama.

Terima kasih untuk memberikanku ukiran luka manis ini, menyobeknya hingga ke dagingku, dan menusuknya dalam ke jiwaku.

Luka yang kau miliki kini menjadi buku favoritku.
Dan kuharap luka yang kau berikan padaku kelak akan menjadi buku favoritmu.

Untukmu yang malam itu berbagi luka bersamaku.

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare

Arranged: Menghidupkan Tradisi dalam Masyarakat Plural

Perbenturan budaya, dalam konteks positif ataupun negatif, dalam kota metropolitan menjadi hal yang biasa terjadi. Film Arranged yang ditulis oleh Stefan Schaefer menghadirkan fenomena ini dalam bentuk persahabatan antara Rochel Meshenberg, seorang Yahudi Ortodoks, dengan Nasira Khaldi, seorang Muslim keturunan Suria. Brooklyn, New York, menjadi latar belakang dari berlangsungnya hubungan mereka. Film independen asal Amerika yang diproduksi oleh Cicala Filmworks ini membuka narasi dengan menunjukan bagaimana Rochel dan Nasira yang bekerja sebagai guru baru di sebuah sekolah umum menghadirkan identitas yang berbeda dari guru-guru lainnya. Identitas Yahudi dan Islam yang dihadirkan sempat dijadikan sorotan oleh murid-murid dan kepala sekolah mereka. Persahabatan mereka pun diwarnai dengan bagaimana mereka bercerita tentang tradisi yang dimiliki masing-masing, hingga masalah perjodohan beserta dilemanya yang dimiliki keduanya. Rochel sebagai Yahudi Ortodoks harus menentukan pilihan atas