Kusapu debu dan cipratan air keruh dari sayapku.
Kusisir secara perlahan dan lebut.
Kurapihkan dan kuperbaiki bagian-bagian yang terkoyak.
Sudah saatnya bagiku tuk terjun kembali ke tanahku.
Peluk hangat dan kecupan sudah menungguku. Tidak sekedar itu, kesengsaraan yang terbelenggu dalam bosan juga sudah duduk manis menantiku dikejauhan sana.
Namun, dimanakah saya berpijak sekarang?
Suatu ruang yang dahulu kukira nirwana, tapi bukan.
Kata mereka ini negeri dongeng, dimana garis-garis waktu dapat kita lengkungkan, dapat kita tarik, atau bahkan putuskan. Pembohong mereka, aku terjebak dalam jeruji garis-garis waktu.
Kata mereka ini negeri impian, lantas apakah para penghuni dapat menghidupkan dan membangun istana ilusi impian mereka? Tidak, mereka terjebak dalam dinding-dinding ruang ini sampai lupa bentuk dari istana impian mereka.
Aku berpijak di ruang sejuk yang dipenuhi bunga-bunga, dan tanaman musim semi yang bermekaran, dihiasi oleh pelangi-pelangi yang jatuh dari langit biru yang cerah. Selimut dari ruang ini terlihat indah bukan?
Sesungguhnya dibalik bunga-bunga indah itu berlimpah penjepit tikus, jebakan tanah yang longsor, terlalu banyak jebakan-jebakan di dalamnya. Dan secara diam-diam ada yang menyiapkan petir-petir panas yang dapat menghambar para menghuni, dan menghantarkan elektron-elektron sepanjang tulang belakang untuk melumpuhkan kami. Zeus? Thor? Kaliankan yang berdiri di balik langit-langit cerah ini?
Namun, dalam ruang ini kutumbuh, sayapku memekar, rambutku terlepas dari ikatnya, kubelajar cara untuk terbang tanpa terkena sambaran guruh panas, ku tahu kapan harus menyembunyikan sayapku dan mengenakan kakiku untuk berjalan. Melangkah dengan penuh getaran, namun pasti, menghindari setiap jebakan yang berserakan.
Sesekali kakiku terjepit. Jebakan itu tidak hanya melukai, tapi terkadang membuka luka lama yang hampir kering. Sakit.
Sesekali sayapku terciprat air keruh dan kotor, bahkan terkadang sayapku terkoyak akibat sambaran petir. Kuterbiasa menangisinya, namun, apalah gunanya air mata di negeri dongeng ini. Anak-anak percaya bahwa tidak ada eksistensi dari tangisan dalam dunia dongeng dan impian ini. Ya, mereka benar, air mata tiada arti disini, karena disini ku diajari untuk dapat membersihkan kembali sayapku, mengobati, dan merapihkan kembali sayapku hingga kirana seperti semula. Walau ada luka kecil yang tertinggal, ada bulu-bulu yang lepas. Tak apa. Ku kan terbang kembali.
Sungguh elok dunia ilusi ini, membesarkanku hinga ku cakap untuk terbang bebas dengan segala kuasa atas sayapku sendiri, dan mampu membiaskan diri dari petir-petir tajam maupun jebakan darat. Ya, bebas dalam kehati-hatian.
Sudahlah, tidak mungkin kudongengkan setiap goresan dan belokan yang ada dalam ruang ini. Terlalu indah sekaligus mara. Gejolak emosi dan pikiran yang tumbuh di sini akan terkurung dalam keabadian ruang ini. Ruang yang masih kucoba untuk terus kubelokkan garis waktunya.
Sekarang saatnya kembali ke tanah yang hampir saja kuabaikan keeksistensiannya.
Selamat tinggal negeri impian, negeri dongeng.
Selamat tinggal bunga-bungan apik dan Zeus.
Percayalah, ku kan kembali dalam ruang hangat ini, karena masih banyak hal mengenai realitas yang patut kupelajari dalam negeri ini. Ya, mungkin cara terbaik untuk belajar mengenai realitas ialah melalui negeri dongen dan negeri impian.
Kusisir secara perlahan dan lebut.
Kurapihkan dan kuperbaiki bagian-bagian yang terkoyak.
Sudah saatnya bagiku tuk terjun kembali ke tanahku.
Peluk hangat dan kecupan sudah menungguku. Tidak sekedar itu, kesengsaraan yang terbelenggu dalam bosan juga sudah duduk manis menantiku dikejauhan sana.
Namun, dimanakah saya berpijak sekarang?
Suatu ruang yang dahulu kukira nirwana, tapi bukan.
Kata mereka ini negeri dongeng, dimana garis-garis waktu dapat kita lengkungkan, dapat kita tarik, atau bahkan putuskan. Pembohong mereka, aku terjebak dalam jeruji garis-garis waktu.
Kata mereka ini negeri impian, lantas apakah para penghuni dapat menghidupkan dan membangun istana ilusi impian mereka? Tidak, mereka terjebak dalam dinding-dinding ruang ini sampai lupa bentuk dari istana impian mereka.
Aku berpijak di ruang sejuk yang dipenuhi bunga-bunga, dan tanaman musim semi yang bermekaran, dihiasi oleh pelangi-pelangi yang jatuh dari langit biru yang cerah. Selimut dari ruang ini terlihat indah bukan?
Sesungguhnya dibalik bunga-bunga indah itu berlimpah penjepit tikus, jebakan tanah yang longsor, terlalu banyak jebakan-jebakan di dalamnya. Dan secara diam-diam ada yang menyiapkan petir-petir panas yang dapat menghambar para menghuni, dan menghantarkan elektron-elektron sepanjang tulang belakang untuk melumpuhkan kami. Zeus? Thor? Kaliankan yang berdiri di balik langit-langit cerah ini?
Namun, dalam ruang ini kutumbuh, sayapku memekar, rambutku terlepas dari ikatnya, kubelajar cara untuk terbang tanpa terkena sambaran guruh panas, ku tahu kapan harus menyembunyikan sayapku dan mengenakan kakiku untuk berjalan. Melangkah dengan penuh getaran, namun pasti, menghindari setiap jebakan yang berserakan.
Sesekali kakiku terjepit. Jebakan itu tidak hanya melukai, tapi terkadang membuka luka lama yang hampir kering. Sakit.
Sesekali sayapku terciprat air keruh dan kotor, bahkan terkadang sayapku terkoyak akibat sambaran petir. Kuterbiasa menangisinya, namun, apalah gunanya air mata di negeri dongeng ini. Anak-anak percaya bahwa tidak ada eksistensi dari tangisan dalam dunia dongeng dan impian ini. Ya, mereka benar, air mata tiada arti disini, karena disini ku diajari untuk dapat membersihkan kembali sayapku, mengobati, dan merapihkan kembali sayapku hingga kirana seperti semula. Walau ada luka kecil yang tertinggal, ada bulu-bulu yang lepas. Tak apa. Ku kan terbang kembali.
Sungguh elok dunia ilusi ini, membesarkanku hinga ku cakap untuk terbang bebas dengan segala kuasa atas sayapku sendiri, dan mampu membiaskan diri dari petir-petir tajam maupun jebakan darat. Ya, bebas dalam kehati-hatian.
Sudahlah, tidak mungkin kudongengkan setiap goresan dan belokan yang ada dalam ruang ini. Terlalu indah sekaligus mara. Gejolak emosi dan pikiran yang tumbuh di sini akan terkurung dalam keabadian ruang ini. Ruang yang masih kucoba untuk terus kubelokkan garis waktunya.
Sekarang saatnya kembali ke tanah yang hampir saja kuabaikan keeksistensiannya.
Selamat tinggal negeri impian, negeri dongeng.
Selamat tinggal bunga-bungan apik dan Zeus.
Percayalah, ku kan kembali dalam ruang hangat ini, karena masih banyak hal mengenai realitas yang patut kupelajari dalam negeri ini. Ya, mungkin cara terbaik untuk belajar mengenai realitas ialah melalui negeri dongen dan negeri impian.
Comments
Post a Comment