Skip to main content

Berendam dalam Kematian

Tepat setelah hampir mati
Mereka menyuruhku merenggangkan tubuh dan beristirahat
Kurentangkan tubuh
Namun jiwaku memberontak
Ia menyeret tubuhku keluar kasur empuk

Tak lama
Sampai ku dalam lautan jiwa
Terlalu engap
Terlalu bising
Terlalu gemerlap

Di sebuah sudut kutemukan malaikat yang pernah menyelamatkanku dari lautan piranha
Ia mencolok dengan permainan korek apinya di tengah gulita
Kubiarkan jiwaku menyeretku ke arahnya
Ia merangkul dan membisikkanku
"Mengapa kau kembali ke lautan iblis ini?"
"Maksudmu aku pernah memasuki ruang ini?"
"Ruang ini sama seperti lautan piranha lalu. Pergilah. Jangan kau hampiri kematian. Biarkan ia menyapamu pada waktunya. Jangan buat dirimu mencolok."
Kuanggukan kepala dan melangkah mundur.

"Hey" suara berat lelaki itu merambatkan getarannya ke belakang leherku, menaikkan seluruh bulu serta aliran darahku. Telapak tangannya hinggap dan menghantarkan hangat pada punggungku. Ia adalah jiwa raksasa yang selalu kujumpai dalam mimpiku.
Senyumnya seolah mengatakan, "jangan pergi, ku kan lindungi kau dari jiwa-jiwa iblis itu".

Namun tidak.
Satu-persatu jiwa iblis menatap dan melangkah mendekati.
Ku arahkan pandanganku hanya pada jiwa raksasa indah di hadapanku,
seolah takada iblis,
seolah ku tak mengenal rasa takut,
seolah kematian tak pernah mencoba mencekikku.

Aneh.

Di sini kutatap mata hitam dalamnya yang dalam mimpiku seolah polos, tapi tidak sekarang. Tatapannya penuh makna. Lekukan bibir merah jambunya tak berhenti merubah lekuk seiring ia menghempaskan getaran-getaran kata dari tenggorokannya. Kulit coklat terbakarnya menceritakan keletihan hidupnya.
Di sini pula jiwa-jiwa iblis menatapku tajam melalui mata merah darah mereka.
Malaikatku hanya tersenyum melihat situasi dari sudut itu. Dia tahu jiwaku pemberontak. Keras kepala. Bahkan tubuh atau pikiran pun tak sanggup mengaturnya.

Comments

Popular posts from this blog

Rekam Jejak Ganja Sintetis

Mendengar dan mendapat informasi dari beberapa pengguna, seperti R dan T tentang penggunaan ganja sintetis. Mereka mengatakan bagaimana mendapatkan “barang” (ganja sintetis) itu dan keduanya mengakui betapa mudah mendapatkannya. Dari sana, kami menelusuri sebenarnya bagaimana awal mula atau rekam jejak mengenai ganja sintetis ini. Sebagai aktivis yang bergerak untuk melegalkan ganja, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN), mengaku pernah mendapatkan ganja sintetis ini sekitar tahun 2012 yang ia dapatkan dari temannya. Ia pun mengaku tertipu karena ternyata efek yang dihasilkan berbeda dari yang alami. Baginya ganja sintetis itu lebih berbahaya. “Ya, pertama kali make ketipu di tahun 2012 dibawa sama temen dibilangnya ganja. Ketika saya pakai awalnya gelap. Rasanya seperti melihat langit tapi kayak cahaya-cahaya. Saya jadi parno, mau balik ke dunia biasa gak bisa dan saya ketakutan. Cuma 5-10 menit dan hilang. Saya gak mau make lagi, yang pasti itu berbahaya karena k...

Gangguan Kesehatan Akibat Synthetic Cannabinoid

Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2015, berbagai gangguan kesehatan atau efek samping yang terjadi akibat menggunakan Synthtetic Cannabinoid (SC) adalah agitasi (35.3%), kelelahan (26.3%), muntah (16.4%), kebingungan (4.2%). Efek lainnya adalah kejang, hingga bisa sampai pada tahap kematian, terutama pada pengguna yang tingkat adiksinya tinggi. Arifah Nur Istiqamah, Kepala Prodi di Jurusan Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran sekaligus Psikiatri Umum dan Adiksi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menjelaskan bahwa pada SC juga bisa terjadi adiksi yang berlebih. “Adiksi yang berlebih ini disebabkan karena semakin ketagihan maka kebutuhan akan itu (SC) semakin meningkat. Apabila sampai tahap itu akan sulit disembuhkan. Akan semakin sulit apabila penggunanya adalah pada usia-usia muda.” Jelas Istiqamah. Hari Nugroho, bagian rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional (BNN), juga memaparkan bah...

Danau Buatan

Kuselalu membayangkannya sebagai lautan. Namun, ia tak ubahnya hanyalah sebuah danau buatan. Seketika, danau tersebut menarikku ke memori 14 tahun yang lalu. Kala itu, aku masih mengenakan seragam putih-abu, duduk di batu yang sama, dengan kekasih yang berbeda. Dalam percakapan itu, aku berkisah tentang ketakutanku memasuki dunia kuliah, ketakutanku akan sebuah perubahan, ketakutanku menjadi dewasa. Aku menangis terisak-isak. Ia merangkul dan menenangkanku. Tak lama, ada seorang anak berjualan tisu. Kami pun serentak tertawa. “Kayaknya kamu sangat butuh ini,” ujarnya. Ia menyeka air mataku dengan tisu kering yang baru dibelinya dari bocah seharga Rp 5.000. Ia memelukku, seketika tangisku pun berubah menjadi tawa. Mengingat segalanya kembali, dalam ruang yang sama, dengan waktu yang berbeda, membuatku menyadari seberapa lugunya kisahku dan ia di masa lalu, seberapa membahagiakannya. Mengingatnya kembali, membuatku rindu pada momen itu. Aku tak mungkin rindu pada lelaki itu,...