Skip to main content

Buronan Bernama Bahagia

Bahagia. Buronan yang kucari tanpa ku ketahui rupanya. Kata ayah, Ia berada di ruang sunyi antara aku dan kepercayaan. Kata ibu, Ia selalu terjaga di lubuk jiwa dan pikiran. Kata kakek, Ia terpancar dari secercah uang dan segenggam beras. Kata nenek, Ia adalah calon lelaki yang kelak menikahiku. Kata tetangga, Ia tidak suka dicari.

Eksistensinya sungguh membingungkan. Ketika kumencari, orang menanyakan kembali, “Apa kau yakin Ia masih hidup?”. Alasan kumencarinya pun tidak jelas. Namun, terasa ada yang hampa antara rutinitas, tubuh, dan jiwaku. Mungkin buronan itu memiliki jawaban untuk menutupi kehampaan ini. Mungkin Ia juga memiliki jawaban untuk alasanku menangis sebelum tidur, alasanku gundah ketika melakukan aktivitas, alasanku hanya menjalani kehidupan sesuai alurnya. Aku tak mau hanya menjadi tokoh dalam cerita yang dijalankam skenario yang dibuat sutradara. Aku ingin menjadi sutradara bagi kehidupanku sendiri.

Baru-baru ini, kata temanku, Ia suka bersembunyi dalam suatu ruang yang hanya menyalah ketika bulan muncul. Ketika ku melangkah memasuki halaman tempat itu, ia terlihat gelap. Bahkan di malam hari. Sekelompok orang mengantri untuk memasuki ruang yang dijaga ketat. Pasti mereka juga sedang mencari kebahagiaan, pikirku. Sampai tiba pada gilirku, kumasuki tempat tersebut. Kabut. Mataku seolah ditutupi asap yang pekat. Terasa sesak. Tiap langkah, ku tertabrak badan lain. Dentuman suara keras tak beraturan memenjarai ruang itu. Badan-badan di sini mengikuti dentuman suara itu. Suara percakapan, tawa, langkah sepatu, gesekan antar-badan, membuat gaduh ruang tersebut. Napasku terasa pendek. Paduan aroma permen mint, permen karet, deodoran, minyak wangi, bau badan, alkohol, asap rokok, menyatu dalam udara itu. Paduan paling memuakan yang pernah kuhirup. Kutanya salah seorang lelaki dalam kaos dan celana hitam, berpostur tegap, dan bertato di sepanjang lengan kirinya, “Mana letak kebahagiaan?”. Ia tertawa, dan memberikan sebotol anggur padaku.

Anggur. Mungkinkah Ia bersembunyi di dalamnya? Teguk demi teguk. Ia menghangatkan, tapi tidak mengisi ruang hampa itu. Lelaki itu salah. Ruang hampa itu justru semakin pekat dan memukuli jantungku. Air mata tanpa alasan yang jelas kembali menetes. Teriakkan jiwa ini menyakitkan akalku, tapi tak bisa kusalurkan lewat tubuh. Dalam goyah, langkah seolah tak mau berhenti mencarinya. Dunia di sekelilingku kembali berputar. Suara detak jantung dan aliran darah terdengar jelas menimpa suara-suara kebisingan yang mengelilingiku.

Persembunyian terbaik ialah tak bersembunyi, tapi membuat orang berpikir bahwa ia bersembunyi. Mungkin ku telah melewatinya beberapa kali tanpa kusadari. Mungkin lelaki dengan wajah kumal dan gelang hitam-oren yang sedang duduk sendiri itu Ia. Mungkin juga tidak.

Kudatangi Ia. Ia tak bersepatu. Kakinya penuh tanah. Tangannya penuh luka. Namun, matanya memancarkan kasih. Aromanya seperti terik matahari. Ia tersenyum. Ia menggeser dan membiarkanku duduk di sampingnya.

Malam itu, kujelajahi pikiran, jejak masa lalu, jiwa, dan raganya. Setiap tikungannya, naik-turunnya, gradasinya, amat elok. Seolah terlalu cantik untuk menjadi bagian dari realitas. Benci. Keindahannya membuatku semakin benci akan eksistensinya. Ia indah karena Ia berbeda dariku. Aku benci. Aku suka karena kita berbeda. Sangat berbeda. Ibarat siang dan malam, kita hidup dalam dimensi yang berbeda. Pertemuan dalam senja justru mencelakakan orang-orang yang berdiri di sekitar kita.

Ku jauhi dirinya. Air mata kembali mengalir di pipiku. Bukan itu yang aku mau. Bukan semua yang orang katakan mengenainya yang mengisi kekosonganku.

Langkahku terhenti ketika melihat seorang wanita. Ia berjalan dalam baju terusan merah kucal selutut, rambutnya acak-acakan, wajahnya terlihat lelah. Ia menatap balik dengan mata letihnya ke tatapanku. Ia tak bersepatu. Kakinya berdebu. Terdapat dua goresan luka basah di pipi kirinya. Kulemparkan senyum kecil kepadanya, Ia lemparkan senyum kecil kembali padaku. Tak rupawan. Tak pandai. Tak kaya. Namun, Aku telah menemukannya. Ia adalah bahagia. Gadis dalam cermin itu.

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare

Arranged: Menghidupkan Tradisi dalam Masyarakat Plural

Perbenturan budaya, dalam konteks positif ataupun negatif, dalam kota metropolitan menjadi hal yang biasa terjadi. Film Arranged yang ditulis oleh Stefan Schaefer menghadirkan fenomena ini dalam bentuk persahabatan antara Rochel Meshenberg, seorang Yahudi Ortodoks, dengan Nasira Khaldi, seorang Muslim keturunan Suria. Brooklyn, New York, menjadi latar belakang dari berlangsungnya hubungan mereka. Film independen asal Amerika yang diproduksi oleh Cicala Filmworks ini membuka narasi dengan menunjukan bagaimana Rochel dan Nasira yang bekerja sebagai guru baru di sebuah sekolah umum menghadirkan identitas yang berbeda dari guru-guru lainnya. Identitas Yahudi dan Islam yang dihadirkan sempat dijadikan sorotan oleh murid-murid dan kepala sekolah mereka. Persahabatan mereka pun diwarnai dengan bagaimana mereka bercerita tentang tradisi yang dimiliki masing-masing, hingga masalah perjodohan beserta dilemanya yang dimiliki keduanya. Rochel sebagai Yahudi Ortodoks harus menentukan pilihan atas