Skip to main content

Bagaimana Jika

Bagaimana jika..
Hey, jangan
Jangan apa?
Berandai-andai untuk mengulang waktu
Masa lalu kau adalah hal yang paling jauh dari dirimu
Tak ada guna berandai-andai untuk mengulang
Tapi, aku hanya membayangkan, akan lebih baik jika
Sekalipun waktu diulang, percayalah, 
kau akan melakukan kesalahan yang sama

Sekitar satu dekade telah menguap sejak perbincangan antara aku dan orang yang melahirkanku itu berlangsung. Setiap kata yang lari dari tenggorokannya selalu mengumpat dengan rapi dalam pikiranku. Bagaimana tidak, obrolan ringan pada sore hari sambil mencelupkan biskuit ke dalam kopi pahit dengannya di halaman depan merupakan hal yang amat langka dan sangat kutunggu-tunggu. Setiap nasehatnya menjadi doktrin mengakar dalam pikiran dan langkahku. Hal tersebut terasa ketika alam menarik dan menjauhkan tubuh kita, memutuskan seluruh kabel yang menghubungkan kita untuk berkomunikasi, dan membakar seluruh foto yang biasa tersimpan rapi dalam dompet. Ya, mengapa justru semakin mereka menjauhkan kita, semakin nyata sosok, pemikiran, dan ide tentangmu dalam akalku. Entah akal atau hati.

Sejak pembicaraan itu berlangsung, hampir tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menyesali atas segala keputusan yang kupilih. Banyak keputusanku atas jalan hidupku yang menurut mereka, bodoh sekali. Namun, tak ada waktu untuk memikirkan apa yang jauh. Setiap langkah yang kuambil kujalani dengan tegap sambil menulikan telinga, segala hinaan maupun motivasi hanya datang dan kembali terpantul secara sempurna tanpa terbias sedikit pun. Sekalipun langkahku mengarahkanku menuju kandang harimau yang hampir lemas kelaparan. Tatapanku bertemu dengan tatapan polosnya, ia seolah tak tahu betapa hinanya manusia yang sedang melangkah ke arahnya, atau ia pura-pura tak tahu? Mungkin ia sudah menyadari bahwa hampir tak ada manusia yang lepas dari hina, bahkan membuat dirinya sendiri terhina, atau ia memang benar-benar tak peduli, yang terlintas di pikirannya hanyalah ada seonggoh daging yang mendatanginya. Aku tak peduli jika aku mati pada titik itu karena aku merasa bahagia tanpa ada cemas, keraguan, dan ketakutan yang berperang dalam pikiranku. Sayangnya, ia tak memakanku, mungkin ia tahu bahwa tidaklah baik memakan sesuatu yang sifatnya najis.

Tapi, maafkan bunda jika aku durhaka, kini pikiranku penuh dengan pertanyaan bagaimana jika..
Aku telah mencoba menghabiskan banyak waktu tanpa melihat ke belakang hingga kusadari aku telah menanam lara untuk waktu yang panjang. Lara itu tumbuh ke bawah, menembus kerasnya bebatuan dengan ujungnya yang tajam. Tertanam di bagian terdalam ingatanku. Aku memendam segalanya terlalu dalam dan tak pernah merawatnya hingga mereka tumbuh secara liar. Aku yakin bukan ini yang kau ajarkan. Mungkin aku terlalu dini untuk memahaminya, hingga berakhir dengan memaknainya dalam sesat pikirku. Aku membutakan pikiranku sendiri terhadap segala masalah yang telah kubuka, setiap kandang harimau yang sedang kelaparan. Aku datangi mereka satu-persatu, membukanya, lalu meninggalkannya secara terbuka. Aku tak pernah benar-benar menyelesaikan sesuatu hanya karena kupikir mereka semu, hanya bagian dari masa lalu. Sebuah rekaman dengan seluruh pemain yang sudah mati. Sayangnya, mereka menjadi hantu dan menghantui.

Maafkan aku karena bodoh dan tak mengerti makna yang hendak kau sampaikan, tapi..
Bagaimana jika sembilan bulan yang lalu aku makan dan tidur yang teratur? Aku pasti tak akan terkena penyakit itu. Sehat. Bagaimana jika delapan bulan yang lalu aku tak memberontak? Reputasiku pasti tal seburuk sekarang. Bagaimana jika tujuh bulan yang lalu aku tak memutuskan untuk lari? Aku pasti akan tidur dengan nyaman tanpa bergelandangan di sebuah jalan yang bahkan tak pernah kuketahui namanya. Bagaimana jika enam bulan yang lalu aku tak memutuskan untuk membuat rumah baru? Aku pasti tak akan menangis ketika rumah itu rubuh dalam proses pembuatannya. Bagaimana jika lima bulan yang lalu aku memutuskan untuk langsung tidur? Aku pasti tidak akan duduk berlama-lama dalam tempat makan itu. Bagaimana jika aku lebih cepat satu menit saja keluar dari tempat makan itu? Aku pasti tak akan bertemu dengan temanku yang mengenaliku kepadanya. Bagaimana jika aku menolak ajak dari temanku itu? Keesokan harinya aku pasti sudah benar-benar lupa dengannya. Bagaimana jika aku tak pernah menanyakan dari mana asalnya dan meledek kaosnya? Pasti tak akan ada perbincangan yang berlanjut di antara kita. Bagaimana jika setelah hari itu aku tak menghubunginya? Segala momen yang selama ini terkenang pasti terkunci rapi dalam kotak ketiadaan bahkan tanpa pernah kuketahui keberadaan dari kotak ketiadaan tersebut. Bagaimana jika malam itu aku tak meneguk minuman pahit itu? Hubunganku dengan beberapa orang yang memiliki darah yang sama denganku tak akan seburuk sekarang, atau setidaknya kami berpura-pura bahwa itu tak buruk. Bukankah itu yang membuat hidup terkadang memunculkan lekungan senyum? Sandiwara. Aku tak pernah masalah dengan sandiwara selama ia tak menyakitiku. 

Jika aku memang sudah terlanjur menghidupkan momen-momen yang seharusnya menjadi bagian dari ketiadaan, seandainya saja aku jujur kepadanya dan tak pernah menyembunyikan sisi lain dariku. Sayangnya, aku takut ia akan takut. Semakin aku coba mengajaknya menyelam ke dalam diriku, justru semakin aku menjauhkannya. Pernah sekali aku mengajaknya untuk berenang di kedalaman yang sedikit lebih dalam dari biasanya, tapi tatapannya berubah. Iba, takut, bingung. Aku bukan monster. Aku juga bukan pengemis kasih. Kataku. Aku tak berani mengatakan bahwa hal yang baru saja ia lihat bukanlah apa-apa dibandingkan dengan bagian dalam lainnya. Itu masih bagian dari permukaan. Awalnya ia iba, mempertahankanku. Lama-kelamaan ia bingung. Aku pun bingung bagaimana cara menutupi bagian hancur dalam diriku. Akalku tak mampu berpikir jernih, selalu ada perang hebat yang terjadi akibat dari harimau-harimau yang mencoba menerkamku. Lama-kelamaan, rasa iba dan bingung keluar lewat keringatnya. Kini aku benar-benar menjadi pengemis kasih dan monster baginya. Harga diri yang selama ini menjadi pakaianku telah terlepas. Aku tak sadar bahwa aku telah menelanjangi diriku sendiri. Dan maafkan karena telah membuatku menjadi bagian darimu. Aku tahu kau benci monster, tapi semoga kau akan segera menemukan malaikat dengan pikiran yang tenang, tanpa ada perang dan harimau di dalamnya, yang mampu membuatmu melupakan kenyataan bahwa monster sepertiku itu nyata dan pernah tinggal bersamamu.

Bunda, maafkan atas kedunguan bagian dari darahmu ini, tapi bagaimana jika aku tak pernah dilahirkan? Seandainya itu benar..

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare

Arranged: Menghidupkan Tradisi dalam Masyarakat Plural

Perbenturan budaya, dalam konteks positif ataupun negatif, dalam kota metropolitan menjadi hal yang biasa terjadi. Film Arranged yang ditulis oleh Stefan Schaefer menghadirkan fenomena ini dalam bentuk persahabatan antara Rochel Meshenberg, seorang Yahudi Ortodoks, dengan Nasira Khaldi, seorang Muslim keturunan Suria. Brooklyn, New York, menjadi latar belakang dari berlangsungnya hubungan mereka. Film independen asal Amerika yang diproduksi oleh Cicala Filmworks ini membuka narasi dengan menunjukan bagaimana Rochel dan Nasira yang bekerja sebagai guru baru di sebuah sekolah umum menghadirkan identitas yang berbeda dari guru-guru lainnya. Identitas Yahudi dan Islam yang dihadirkan sempat dijadikan sorotan oleh murid-murid dan kepala sekolah mereka. Persahabatan mereka pun diwarnai dengan bagaimana mereka bercerita tentang tradisi yang dimiliki masing-masing, hingga masalah perjodohan beserta dilemanya yang dimiliki keduanya. Rochel sebagai Yahudi Ortodoks harus menentukan pilihan atas