Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2016

Terima Kasih Untuk Tetesan Darah di Serpihan Cermin

Untuk waktu yang cukup lama, aku memerhatikan gadis yang sedang berdiri di hadapanku. Ia tenggelam dalam gaun hitam sambil memegang sekuntum bunga hitam. Gaun yang sama ketika aku menemuinya enam tahun yang lalu, di tempat yang sama pula. Tangannya berusaha untuk menggenggam bunga itu, sampai perlahan akhirnya ia jatuhkan. Bunga itu jatuh di sebelah kaki putih tanpa alasnya. Kami hanya dipisahkan oleh jarak sekitar dua langkah. Sayap putih besar tipis di bagian belakang punggungnya membuat tubuhnya terlihat semakin kurus. Tulang selangkanya menonjol. Bunga hitam dekat kakinya dikelilingi beberapa bulu dari sayap putihnya yang terjatuh. Aku memandangnya, ia balik menatapku. Aku bingung arti di balik tatapannya itu. Tatapan ini persis seperti tatapannya enam tahun yang lalu. Semakin lama aku melihatnya, justru semakin kesal aku dibuat olehnya. Aku kesal karena aku tidak pernah memahaminya. Tatapan matanya semakin tajam dan berkilau akibat air di dalamnya. Hingga air tersebut berubah

Fernando Pessoa, The Book of Disquiet

  One of my friend recommended me to read this book, and I fall in love with some of his quotes from this book. Thanks to Fernando Pessoa and my friend.. “We never love anyone. What we love is the idea we have of someone. It's our own concept—our own selves—that we love.”  “The feelings that hurt most, the emotions that sting most, are those that are absurd - The longing for impossible things, precisely because they are impossible; nostalgia for what never was; the desire for what could have been; regret over not being someone else; dissatisfaction with the world’s existence. All these half-tones of the soul’s consciousness create in us a painful landscape, an eternal sunset of what we are.”   “I've never done anything but dream. This, and this alone, has been the meaning of my life. My only real concern has been my inner life.”     “We all have two lives: The true, the one we dreamed of in childhood And go on dreaming of as adults in a substratum of mist; the false, t

Liputanlah! Ngapain Lagi?

"Ayiii!" "Eh, Fadia!" "Lagi ngapain di sini, Yi?" "Liputanlah! Ngapain lagi coba?" Sekilas percakapan antara saya dengan teman seperjuangan di kelas Jurnalistik, Fikom, Unpad, ketika secara tidak sengaja berpapasan di salah satu mall di kota kembang sore tadi. Percakapan semacam ini tidak lagi menjadi hal yang kebetulan. Selama kuliah di jurusan yang berkali-kali membuat saya melek hingga pagi dan lupa makan ini berpapasan dengan senior atau teman seangkatan di jalan entah-berantah karena sama-sama sednag liputan sudah menjadi hal yang biasa. "Lah elu, lagi liputan ya pasti?" "Iya" "Buat tugas apa?" "Radio, lu? "Reportase" Sebrengsek-brengseknya anak jurnal, ya hanya mereka yang mengerti perjuangannya di jurusan dengan kiblat sembilan elemen jurnalisme ini. Entah berapa kali saya meneteskan air mata selama kuliah di sini, yang pastinya jurusan ini berhasil membuat lebih bany

Jatinangor, Wilayah Tanpa Identitas

Sebuah wilayah tanpa identitas. Begitu kira-kra gambaran dari Dadan Ramdan selaku pengurung Saung Budaya Sunda (Sabusu) ketika berbincang tentang seni dan budaya dari Jatinangor. Jatinangor merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Sumedang. Wilayah ini juga merupakan kawasan pendidikan dengan tegapnya berdiri empat perguruan tinggi besar, yakni Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).   Jatinangor sendiri baru memasuki usia ke-16 tahunnya pada 21 April kemarin. Sebelumya, wilayah tersebut dikenal dengan nama Cikeruh. Kecamatan yang terdiri dari 12 desa ini dari tahun ke tahunnya senantiasa dibanjiri mahasiswa baru yang datang dari berbagai wilayah. Banyaknya mahasiswa yang hadir ke Jatinangor secara perlahan menggeser pemukiman dan budaya lokal dari Jatinangor sendiri.   “Mahasiswa semakin mendominasi dan merubah Jatinangor,” ujar Deden Doni Herlansyah selaku anggota D