Skip to main content

Jatinangor, Wilayah Tanpa Identitas

Sebuah wilayah tanpa identitas. Begitu kira-kra gambaran dari Dadan Ramdan selaku pengurung Saung Budaya Sunda (Sabusu) ketika berbincang tentang seni dan budaya dari Jatinangor. Jatinangor merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Sumedang. Wilayah ini juga merupakan kawasan pendidikan dengan tegapnya berdiri empat perguruan tinggi besar, yakni Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
  Jatinangor sendiri baru memasuki usia ke-16 tahunnya pada 21 April kemarin. Sebelumya, wilayah tersebut dikenal dengan nama Cikeruh. Kecamatan yang terdiri dari 12 desa ini dari tahun ke tahunnya senantiasa dibanjiri mahasiswa baru yang datang dari berbagai wilayah. Banyaknya mahasiswa yang hadir ke Jatinangor secara perlahan menggeser pemukiman dan budaya lokal dari Jatinangor sendiri.
  “Mahasiswa semakin mendominasi dan merubah Jatinangor,” ujar Deden Doni Herlansyah selaku anggota DPRD Kabupaten Sumedang dan Ketua Karang Taruna Jatinangor. Menurutnya, kearifan lokal semakin berkurang dengan kehadiran mahasiswa.
  Warga lokal dari Jatinangor sendiri sekitar 120.000 jiwa. Dari 12 desa, yang merupakan kawasan pendidikan hanya 4 desa, yakni Sayang, Hegarmanah, Cikeruh, dan Ciseke. Unpad sendiri sudah menyumbang sekitar 42.000 mahasiswa aktif. Belum lagi ditambah tiga perguruan tinggi lainnya yang membanjiri keempat desa tersebut.
Dengan banyaknya mahasiswa, penjualan tanah di Jatinangor pun memiliki harga yang cukup tinggi, hingga akhirnya warga lokal Jatinangor semakin tergusur ke wilayah pinggiran. Wilayah-wilayah strategis di Jatinangor dijadikan tempat berdagang, kostan, dan pembangunan apartemen.
  Dominasi para pendatang ini secara perlahan menghadirkan berbagai budaya baru. Namun bukan kehadiran budaya barulah yang dianggap oleh Deden sebagai masalah, melainkan penggerusan budaya lokal itu sendiri.
Terdapat banyak seni dan budaya asli dari Jatinangor sendiri yang semakin langka dan sulit ditemui, seperti tari cikeruhan. Cikeruhan merupakan tari yang menggabungkan gerakan dari binatang dan perilaku manusia. Selain itu, ada seni helaran, semacam arak-arakan atau konvoi di mana di dalamnya ada yang menyanyi dan menari lagu dan tarian tradisional.
  Ada pula seni gotong domba asal Kiara Beres, Jatinangor. Seni ini lahir berawal dari masyarakatnya yang mayoritas merupakan petani atau peternak domba. Domba buatan ini digotong oleh warga sambil diiringi musik dan tarian khas. Tradisi ini kini sulit ditemui.
  “Jangan sampai Jatinangor itu jati kasilih ku junti,” ujar Dodi Purniadi selaku Kepala Desa Sayang yang juga mengakui akan dominasi dari mahasiswa ini. Jati kasilih ku junti sendiri berarti pribumi tersingkir oleh pendatang.
  Deden juga bercerita bagaimana gaya hidup para mahasiswa tersebut dijadikan sebuah panutan bagi remaja Jatinangor. Sekarang ini, mayoritas remaja Jatinangor berusaha mengikuti gaya hidup ala mahasiswa yang dianggapnya keren. Menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di mall, nongkrong di kedai kopi, dan sebagainya. Budaya lokal, salah satunya gotong royong, secara perlahan semakin pudar.
  Kesadaran akan memudarnya seni budaya asli Jatinangor, serta semakin tersingkirnya warga lokal akibat dominasi dari mahasiswa dan pembangunan terus terjadi, akhirnya melahirkan beberapa gerakan baik dari mahasiswa maupun warga lokal sendiri.
  Saung Budaya Sumedang (Sabusu) merupakan salah satu bentuk upaya dari warga yang mengajak mahasiswa untuk ikut bekerja sama dalam menjaga Jatinangor. Sabusu ini sendiri baru didirikan kembali setelah sebelumnya sempat tutup. Mereka menjadi wadah untuk menyatukan mahasiswa dengan warga lokal di mana sebelumnya dianggap terdapat jurang yang menghalangi interaksi antara keduanya. Pelestarian budaya dalam bentuk penyelenggaraan acara budaya Jatinangor dan diskusi tentang Jatinangor menjadi salah satu bentuk penyatuan yang dilakukan.


Comments

Popular posts from this blog

Rekam Jejak Ganja Sintetis

Mendengar dan mendapat informasi dari beberapa pengguna, seperti R dan T tentang penggunaan ganja sintetis. Mereka mengatakan bagaimana mendapatkan “barang” (ganja sintetis) itu dan keduanya mengakui betapa mudah mendapatkannya. Dari sana, kami menelusuri sebenarnya bagaimana awal mula atau rekam jejak mengenai ganja sintetis ini. Sebagai aktivis yang bergerak untuk melegalkan ganja, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN), mengaku pernah mendapatkan ganja sintetis ini sekitar tahun 2012 yang ia dapatkan dari temannya. Ia pun mengaku tertipu karena ternyata efek yang dihasilkan berbeda dari yang alami. Baginya ganja sintetis itu lebih berbahaya. “Ya, pertama kali make ketipu di tahun 2012 dibawa sama temen dibilangnya ganja. Ketika saya pakai awalnya gelap. Rasanya seperti melihat langit tapi kayak cahaya-cahaya. Saya jadi parno, mau balik ke dunia biasa gak bisa dan saya ketakutan. Cuma 5-10 menit dan hilang. Saya gak mau make lagi, yang pasti itu berbahaya karena k...

Gangguan Kesehatan Akibat Synthetic Cannabinoid

Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2015, berbagai gangguan kesehatan atau efek samping yang terjadi akibat menggunakan Synthtetic Cannabinoid (SC) adalah agitasi (35.3%), kelelahan (26.3%), muntah (16.4%), kebingungan (4.2%). Efek lainnya adalah kejang, hingga bisa sampai pada tahap kematian, terutama pada pengguna yang tingkat adiksinya tinggi. Arifah Nur Istiqamah, Kepala Prodi di Jurusan Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran sekaligus Psikiatri Umum dan Adiksi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menjelaskan bahwa pada SC juga bisa terjadi adiksi yang berlebih. “Adiksi yang berlebih ini disebabkan karena semakin ketagihan maka kebutuhan akan itu (SC) semakin meningkat. Apabila sampai tahap itu akan sulit disembuhkan. Akan semakin sulit apabila penggunanya adalah pada usia-usia muda.” Jelas Istiqamah. Hari Nugroho, bagian rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional (BNN), juga memaparkan bah...

Danau Buatan

Kuselalu membayangkannya sebagai lautan. Namun, ia tak ubahnya hanyalah sebuah danau buatan. Seketika, danau tersebut menarikku ke memori 14 tahun yang lalu. Kala itu, aku masih mengenakan seragam putih-abu, duduk di batu yang sama, dengan kekasih yang berbeda. Dalam percakapan itu, aku berkisah tentang ketakutanku memasuki dunia kuliah, ketakutanku akan sebuah perubahan, ketakutanku menjadi dewasa. Aku menangis terisak-isak. Ia merangkul dan menenangkanku. Tak lama, ada seorang anak berjualan tisu. Kami pun serentak tertawa. “Kayaknya kamu sangat butuh ini,” ujarnya. Ia menyeka air mataku dengan tisu kering yang baru dibelinya dari bocah seharga Rp 5.000. Ia memelukku, seketika tangisku pun berubah menjadi tawa. Mengingat segalanya kembali, dalam ruang yang sama, dengan waktu yang berbeda, membuatku menyadari seberapa lugunya kisahku dan ia di masa lalu, seberapa membahagiakannya. Mengingatnya kembali, membuatku rindu pada momen itu. Aku tak mungkin rindu pada lelaki itu,...