Untuk waktu yang cukup lama, aku memerhatikan gadis yang sedang berdiri di hadapanku. Ia tenggelam dalam gaun hitam sambil memegang sekuntum bunga hitam. Gaun yang sama ketika aku menemuinya enam tahun yang lalu, di tempat yang sama pula. Tangannya berusaha untuk menggenggam bunga itu, sampai perlahan akhirnya ia jatuhkan. Bunga itu jatuh di sebelah kaki putih tanpa alasnya. Kami hanya dipisahkan oleh jarak sekitar dua langkah. Sayap putih besar tipis di bagian belakang punggungnya membuat tubuhnya terlihat semakin kurus. Tulang selangkanya menonjol. Bunga hitam dekat kakinya dikelilingi beberapa bulu dari sayap putihnya yang terjatuh.
Aku memandangnya, ia balik menatapku. Aku bingung arti di balik tatapannya itu. Tatapan ini persis seperti tatapannya enam tahun yang lalu. Semakin lama aku melihatnya, justru semakin kesal aku dibuat olehnya. Aku kesal karena aku tidak pernah memahaminya. Tatapan matanya semakin tajam dan berkilau akibat air di dalamnya. Hingga air tersebut berubah menjadi tetesan air mata. Warna coklat muda dari bola matanya menjadi berkilau. Ia seolah berteriak kencang, tapi tak seorang pun mendengarnya. Ia terlihat kesal kepadaku. Akhirnya ia menangis. Sayangnya, ia tidak menjadi bagian dari manapun. Ia tidak berdiri dan berpegangan pada apa atau siapapun. Kini dengan kedua kalinya ia menggunakan gaun itu, secara resmi ia menjadi elemen bebas. Tidak terikat apapun. Tidak ada yang mendengarnya. Terabaikan oleh semesta.
Rambut coklat tua ikalnya membingkai wajah berkulit putihnya. Rambutnya terurai hingga pinggang membuat wajahnya terlihat panjang. Wajah, terutama pipinya, memerah, ia terlihat seolah habis berjemur. Terdapat beberapa bintik-bintik atau flek di bagian bawah mata kirinya.
Napasnya semakin terengap. Namun, dia satu-satunya orang yang dekat denganku walau ku tak pernah mengenalinya secara utuh. Dia satu-satunya yang selalu ada ketika kubutuhkan. Namun, lagi-lagi gaun itu membuatku kesal. Sayangnya, aku tak selalu ada untuknya. Aku tak tahu apa cita-citanya, tujuan dari hidupnya. Yang kutahu hanyalah masa lalunya. Masa lalu yang mengharuskan ia untuk selalu berubah. Perubahan dirinya terlihat jelas dari caranya menatap. Tatapannya semakin tegas dan jelas. Aku juga selalu lebih mengutamakan orang lain ketimbang dirinya. Mengabaikan perasaannya demi perasaan orang lain. Hingga orang-orang di sekitarku menghilang satu-persatu, dan hanya dirinya yang tertinggal. Masih adakah waktu untuk aku agar lebih mengenalinya?
Untuk apa ia hidup, bila ia sudah tidak memiliki tempat untuk berdiri dan berbicara? Melihatnya membuatku dilema, antara kesal dan iba. Pikirannya selalu membuatku bingung. Eksistensinya, dan esensi dari eksistensinya justru membuatku semakin bingung. Siapa dia? Untuk apa dia memertahankan hidup bila sudah tidak memiliki apapun? Dunia ini seolah selalu terbagi dua, dia dan bukan dia. Mengapa begitu rumit bagiku untuk mengenalinya. Aku seolah lupa cara untuk berkomunikasi. Aku dapat mengobrol dengan siapapun, tapi tidak berkomunikasi. Begitu pula dengannya. Hingga aku memutuskan untuk memukul dirinya dengan sangat kuat. Sangat kuat hingga ia terpecah.
Ia pecah. Seluruh tubuhnya terpisah. Aku menatapnya, mata coklat mudanya balik menatapku. Tetesan air matanya sudah membasahi dia pipinya. Matanya terlihat cantik dan berkilau ketika ia menangis. Ada darah yang menetesi pecahan di sekitarnya. Darahnya ikut terpecah dan terpantul. Terlihat anggun dan menarik darah tersebut.
Aku sedikit mundur untuk memerhatikannya, ia pun mengikutiku untuk mundur. Aku kagum, terlarut dalam keindahannya. Aku tersenyum memerhatikan tetesan warna merah marun itu bergerak mengikuti celah pecahan dengan amat lambat. Ia pun ikut tersenyum. Hal sama yang dapat membuat aku dan dia tersenyum enam tahun yang lalu. Hal sama yang mampu membuatku tersenyum setelah ibuku tewas, dan yang membuatnya terlihat anggun ketika tewas di hadapanku. Aku tersanjung oleh keindahannya berkali-kali. Kuambil sebuah serpihan kecil cermin yang terdapat darah di atasnya.
Senang rasanya menemukan kebahagiaan kecil di lapisan dunia ini. Bukan hanya masalah keindahan pantulan marun di cermin yang membuatku bahagia, tapi melihatnya ikut menemukan kebahagiaan membuatku bahagia. Setidaknya untuk tersenyum sementara ini. Karena bagaimanapun, ia adalah refleksi diriku yang terpisahkan oleh cermin. Satu-satunya tempat ku dapat mengerti diriku melalui dirinya. Bercermin.
Comments
Post a Comment