Kau yang selalu menjadi tirani teratas
Sungguh aneh keberadaanmu. Kau yang memaksaku untuk selalu berjalan tanpa henti. Ketika kucoba tidur, kau lenyap.
Ku kembali berlari mengejarmu, sebuah rutinitas yang seolah tak pernah lepas dariku.
Entah aku yang terlalu lamban atau memang kau yang bergerak terlalu cepat. Cepat bahkan kurang cepat untuk menggambarkan kecepatanmu. Yang kutahu kau telah mampu memisahkanku dari aku yang lama. Menjadikanku yang lama momok bagi diriku. Dia yang berdiri di hadapan kaca menangisi tubuhnya yang berkelok mengikuti garis tulang. Setiap tonjolan tulangnya terlihat jelas. Atau dia yang membuang air mata ketika melihat orang tuanya berpisah. Murah sekali tetesan air matanya. Dia yang menjadi bahan ejekan karena warna kulitnya berbeda. Dia yang ditinggalkan karena tidak seiman. Dia yang selalu canggung. Bodoh dalam mengambil keputusan. Selalu dijadikan boneka yang murah dan mudah digantikan. Selalu percaya dengan setiap kepala yang beredar di sekitarnya. Mengapa aku jadi membenci dia? Karena sekat tipis yang kau dirikan di antara kami kini menebal dan menjadi labyrinth. Terlalu sulit untuk kembali dan menyusuri labyrinth untuk menemukannya. Aku lebih baik bergerak bersamamu ke depan, berpura-pura tak melihat aku yang di belakang.
Pernah sesekali aku memasuki labyrinth untuk menemukan aku yang lama. Sebuah labyrinth penderitaan dengan penuh duri. Duri, bagian yang tumbuh untuk melindungi diri. Mengapa ia menutupi dan melindungi dirinya dari aku? Padahal aku menjadi aku karena dia. Dia yang telah memahat dan melicinkanku. Entah berapa lama aku tersesat dalam labyrinth itu, dan entah berapa duri yang telah menancap kulitku. Semakin lama kulitku justru mati rasa. Tiada lagi rasa perih atau lara yang lahir dari tusukan duri. Yang menghentikanku justru rasa lapar dan lemas. Dilema antara melanjutkan perjalanan yang tak jelas ujungnya atau kembali bersamamu. Ah, memang kau licik. Pantas saja ku tak pernah menemukan dia. Sepanjang aku mencari, kau memperbesar dan meningkatkan kompleksitas dari labyrinth ini
.
Sungguh aneh keberadaanmu. Kau yang memaksaku untuk selalu berjalan tanpa henti. Ketika kucoba tidur, kau lenyap.
Ku kembali berlari mengejarmu, sebuah rutinitas yang seolah tak pernah lepas dariku.
Entah aku yang terlalu lamban atau memang kau yang bergerak terlalu cepat. Cepat bahkan kurang cepat untuk menggambarkan kecepatanmu. Yang kutahu kau telah mampu memisahkanku dari aku yang lama. Menjadikanku yang lama momok bagi diriku. Dia yang berdiri di hadapan kaca menangisi tubuhnya yang berkelok mengikuti garis tulang. Setiap tonjolan tulangnya terlihat jelas. Atau dia yang membuang air mata ketika melihat orang tuanya berpisah. Murah sekali tetesan air matanya. Dia yang menjadi bahan ejekan karena warna kulitnya berbeda. Dia yang ditinggalkan karena tidak seiman. Dia yang selalu canggung. Bodoh dalam mengambil keputusan. Selalu dijadikan boneka yang murah dan mudah digantikan. Selalu percaya dengan setiap kepala yang beredar di sekitarnya. Mengapa aku jadi membenci dia? Karena sekat tipis yang kau dirikan di antara kami kini menebal dan menjadi labyrinth. Terlalu sulit untuk kembali dan menyusuri labyrinth untuk menemukannya. Aku lebih baik bergerak bersamamu ke depan, berpura-pura tak melihat aku yang di belakang.
Pernah sesekali aku memasuki labyrinth untuk menemukan aku yang lama. Sebuah labyrinth penderitaan dengan penuh duri. Duri, bagian yang tumbuh untuk melindungi diri. Mengapa ia menutupi dan melindungi dirinya dari aku? Padahal aku menjadi aku karena dia. Dia yang telah memahat dan melicinkanku. Entah berapa lama aku tersesat dalam labyrinth itu, dan entah berapa duri yang telah menancap kulitku. Semakin lama kulitku justru mati rasa. Tiada lagi rasa perih atau lara yang lahir dari tusukan duri. Yang menghentikanku justru rasa lapar dan lemas. Dilema antara melanjutkan perjalanan yang tak jelas ujungnya atau kembali bersamamu. Ah, memang kau licik. Pantas saja ku tak pernah menemukan dia. Sepanjang aku mencari, kau memperbesar dan meningkatkan kompleksitas dari labyrinth ini
.
Comments
Post a Comment