Skip to main content

Membangun Realitas Melalui Simbol dalam Media (Resensi Surrounded by Images and Meanings: Essay on Media and Cultural Studies)



Identitas Buku
Judul :
Surrounded by Images and Meanings: Essay on Media and Cultural Studies
Penulis : Zaki Habibi
Penerbit : Komunikasi UII
Tahun : 2016

Buku dengan judul Surrounded by Images and Meanings: Essay on Media and Cultural Studies karya Zaki Habibi yang diterbitkan pada Oktober 2016 ini berisi kumpulan esai yang membahas seputar tanda dan maknanya. Zaki Habibi merupakan peneliti di bidang kajian media dan budaya visual. Buku ini terbagi atas empat bagian. Setiap pembahasannya diulas dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh kalangan secara umum. Ia juga memberikan latar belakang atau teori yang ia gunakan untuk menganalisis suatu fenomena, sehingga pembaca yang tidak berkutat di dunia media pun paham akan apa yang ia sampaikan.

Pada bagian awal, Zaki menaruh dasar-dasar pemikiran atau teori yang berkaitan dengan tanda dan pemaknaan itu sendiri. Zaki mengawali dengan perbandingan pandangan Jean Baudrillard dan Roland Barthes terkait dengan konsep tanda, dan makna. Diskursus pendangan antara keduanya dipaparkan di mana Baudrillard memiliki pandangan bahwa sebuah tanda tidak lagi berkaitan dengan realitas, yakni pada dasarnya teknologi, khususnya melalui media, membangun realitas itu sendiri, atau yang disebut hiperrealitas (kenyataan tanpa origin atau realitas), sedangkan Barthes memiliki pandangan bahwa tanda dengan realitas tetap memiliki relasi berdasarkan tiga jenjang, yakni denotasi, konotasi, dan mitos. Pada dasarnya, keduanya pun memiliki akar pandangan yang berbeda, di mana Barthes dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Saunders Pierce dalam ilmu semiotikanya, sedangkan Baudrillard mengembangkan teori Marxism dan displin sosiologi. Zaki tidak memberikan pendirian terkait mana yang benar, hanya membandingkan perbedaan pandangan yang ada di antara keduanya.

Zaki juga membahas terkait bagaimana kaum urban (urban tribes) kini menghasilkan cara pembagian kelas sosial dengan dasar yang berbeda, bukan dari sisi ekonomi, melainkan pembagiannya menjadi semakin kompleks dipengaruhi budaya dan cara masyarakat itu sendiri mengkonsumsi. Zaki juga sempat menganalisis bagaimana wartawan foto bekerja dengan cara yang berbeda dengan “orang biasa” dalam membingkai realitas. Zaki menggunakan hasil-hasil foto dalam kejadian bencana Gunung Merapi yang terjadi pada 2010. Ia menggunakan pandangan strukturalis yang dimiliki Louis Althusser dan post-strukturalis yang dimiliki Michel Foucault sebagai dasar teori yang dijelaskan pada bagian awal bukunya. Zaki sendiri juga memang sempat menulis dan menganalisis kejadian terkait dengan musibah tersebut yang juga diterbitkan dalam bentuk beberapa esai dalam bukunya Mediaholic: Membincangkan Media di Ruang Budaya. Dalam esai-esainya tersebut, Zaki menganalisis seputar bagaimana media, informasi, dan bencana, serta keterkaitan satu sama lainnya.

Bagian kedua dari bab ini merupakan kumpulan esai yang membahas bagaimana fotografi, televisi, dan internet sebagai media bekerja di dalamnya. Zaki menggunakan gagasan dari Barthes dalam menerjemahkan foto-foto dalam berita terkait Papua yang diterbitkan oleh media-media massa yang besar di Indonesia dan Australia. Isu yang diangkat dalam esainya ini cenderung masih hangat hingga saat ini, terlebih pergerakan untuk kemerdekaan Papua masih terus berjalan. Ia juga membicarakan fenomena citizen journalism yang lahir dari konsep “every citizen is a reporter” di mana teknologi menggeser fungsi dari media, serta cara media mendapatkan dan menyebar informasi (budaya dalam media massa).

Film sebagai Produk Budaya
Terdapat banyak festival film di Asia yang cenderung didedikasikan untuk motivasi daripada objek industri. Festival film ini pun cenderng dikembangkan oleh kekuatan komunitas. Film yang dianalisis dalam kasus ini ialah Jeonju International Film Festival (JIFF), Cinemalaya Philippine Independent Film Festival, dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Terdapat tiga konsep yang relevan dalam penelitian ini, yakni film sebagai produk budaya, film festival independen, dan kajian budaya. Film secara umum sendiri dapat dilihat sebagai tiga subjek penting, yakni film sebagai seni, medium dalam komunikasi, dan produk budaya. Film yang ditayangkan di festival film independen sendiri memiliki beberapa karakteristik, yakni prosesnya pembuatan hingga pendistribusiannya sendiri yang tidak bergantung pada sistem atau arus utama dari industri film. Hal ini yang pada akhirnya, menurut Zaki, merupakan produk dari budaya karena bukan berlandaskan industri ataupun komersial.

Zaki juga menganalisis beberapa film dari simbol-simbol yang ada. Ia meneliti bagaimana pembuat film di Asia menggambarkan sosok perempuan di Asia melalui film. Ia juga memiliki argumentasi bahwa pada dasarnya memori budaya ikut dikonstruksi melalui film.

Dalam membicarakan film dokumenter sendiri, Zaki menjelaskan bagaimana perkembangan dari dokumenter itu sendiri. Lebih jauh lagi, dokumenter tidak lagi bersifat realisme atau memotret realitas, melainkan menjadi bentuk representasi atau pengkonstruksian dari realitas sosial itu sendiri.

Kekuatan Simbol dalam Budaya Kontemporer
Zaki, dalam buku ini, menonjolkan kekuatan dari simbol itu sendiri. Ia menyajikan seputar simbol dengan sistematis, bermula dari makna dari simbol itu sendiri yang dinarasikan melalui teori-teori dan dasar-dasar pemikiran terkait simbol dan budaya, hingga pengaplikasiannya dalam penelitian dalam media, khususnya dalam film. Zaki membaca budaya kontemporer, mulai dari film independen, dokumenter, hingga karya fotografi dari kacamata simbol. Ia menginterpretasikan beberapa hal dan mengaitkannya dengan budaya ataupun proses pengkonstruksian realitas.

Penelitiannya terkait dengan simbol dan film memang bukan kali pertamanya, sebelumnya ia juga memaparkan esai seputar simbol dan film dalam bukunya yang berjudul Mediaholic: Membincangkan Media di Ruang Budaya. Dalam esainya yang berjudul “…Oh, Film”: Mengenal Dunia Film Indonesia dari Kumpulan Kusah Bung Misbach, Zaki sendiri mengutarakan betapa sulitnya ia menemukan buku-buku atau referensi seputar film di Indonesia. Penelitiannya seputar film menjadi salah satu kontribusi dalam perkembangan ilmu sepuat film itu sendiri, khususnya di Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman...

Rekam Jejak Ganja Sintetis

Mendengar dan mendapat informasi dari beberapa pengguna, seperti R dan T tentang penggunaan ganja sintetis. Mereka mengatakan bagaimana mendapatkan “barang” (ganja sintetis) itu dan keduanya mengakui betapa mudah mendapatkannya. Dari sana, kami menelusuri sebenarnya bagaimana awal mula atau rekam jejak mengenai ganja sintetis ini. Sebagai aktivis yang bergerak untuk melegalkan ganja, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN), mengaku pernah mendapatkan ganja sintetis ini sekitar tahun 2012 yang ia dapatkan dari temannya. Ia pun mengaku tertipu karena ternyata efek yang dihasilkan berbeda dari yang alami. Baginya ganja sintetis itu lebih berbahaya. “Ya, pertama kali make ketipu di tahun 2012 dibawa sama temen dibilangnya ganja. Ketika saya pakai awalnya gelap. Rasanya seperti melihat langit tapi kayak cahaya-cahaya. Saya jadi parno, mau balik ke dunia biasa gak bisa dan saya ketakutan. Cuma 5-10 menit dan hilang. Saya gak mau make lagi, yang pasti itu berbahaya karena k...

Perbedaan dari yang Serupa

Penamaan ganja sintetis ternyata dianggap kurang tepat bagi beberapa orang. Kami berhasil mewawancarai beberapa orang untuk mencari tahu apa saja perbedaan dari yang “katanya” ganja sintetis atau tepatnya sintetik cannabinoid (SC) dan ganja alami. Hasil yang kami gali berkaitan dengan penamaan, efek yang dirasakan, hingga pada dampaknya. Mereka menyadari perbedaan tersebut biasanya setelah pernah memakai keduanya. RF, salah satu pengguna aktif dari SC mengaku awalnya ia diberi yang ganja alami. Ia merasakan efek yang berbeda ketika menggunakan ganja alami dan SC. “Awalnya nyobain sekali dan gak langsung dikasih ganja sintesis tapi dikasih ganja asli terus gua senang karena efeknya enak. Dari situ gak mau lagi dan itu cuma buat iseng-iseng aja. Abis itu gua make yang sintetis, pertamanya gak enak, terus kedua kali nyoba lagi di waktu yang berbeda dengan jeda waktu dua mingguan lah, awal make di bulan Maret. pas nyobain satu setengah ternyata emang bener enak dari situ besok besoknya...