Skip to main content

Entah

Para lelaki yang tiap malam berkumpul di pangkalan ojek untuk menonton bola, ibu-ibu penjaga warung 24 jam depan gang yang berisikan kos-kosan mahasiswa, angin malam yang berlarian melewati depan gang itu, para mahasiswa yang suka melembur untuk rapat dan pulang tengah malam, air yang saling dorong-mendorong untuk sesegera mungkin melewati gorong-gorong depan gang itu, serta beberapa tikus yang suka diam-diam mengintip manusia yang masih berlalu-lalang di jam yang entah apakah disebut malam atau dini hari, mereka semua menjadi saksi hidup seorang gadis yang hampir setiap malam dijemput oleh pria. Kadang seorang, kadang ramai-ramai. Kadang menggunakan vespa, kadang motor trail, seringnya mobil. Kadang tinggi-putih, kurus-hitam, berkacamata. Entah telah berapa jenis lelaki yang senang menghampirinya. Sesekali lelaki yang menjemputnya serupa dengan yang ia temui dua hari, seminggu, atau bahkan beberapa bulan sebelumnya.

Dirinya lenyap dari hadapan depan gang tersebut seiring dengan bulan menaruh posisinya tepat di atap langit. Tak satu pun dari mereka yang menjemput tahu betul di mana letak kosan, apalagi kamar, dari wanita tersebut. Identitasnya tak pernah mereka ketahui, lebih jauh lagi memang mereka tak memedulikannya. Ia senantiasa menjadi cahaya dan kenikmatan bagi lelaki yang kepalanya ditekan oleh hidup dari berbagai sisi. Ia mencairkan darah yang membeku di kepala ataupun hati. Ia melekungkan kembali bibir para lelaki yang sebelumnya tidak direstui alam untuk tersenyum. Satu hal yang menjadi sandarannya, jangan sampai ada lelaki yang benar-benar mencintainya. Ia takut dicintai, ia hanya ingin merasa ditemani dalam kesepiannya, dipeluk dalam dinginnya, jangan ketahui ia lebih dalam. Ia akan tetap terlihat cantik selama identitasnya tidak terkuak. Baginya tubuh memang bayaran yang setimpal dengan kebahagiaan dan kehangatan yang diberikan mereka. Tubuh hanyalah tubuh. Daging hanyalah daging. Tak lebih. Jiwa merupakan hal yang berbeda. 

Ia. Gadis yang memang hanya dihubungi para pria di malam hari. Para pria yang ketika matahari masih bersinar seolah tak mengenalnya. Perjalanan persatuan daging dengan gadis tersebut hanyalah diketahui tiga pihak, sang gadis, pria, dan Tuhan jika mereka memang masih memercayainya. Gadis yang kesehariannya tak lepas dari buku dan perkuliahan. Gadis yang pada malam hari tak pernah ada yang mengenal atau bahkan tertarik untuk mengenalnya terlalu jauh. Mereka senang melihatnya tertawa, bukan berdiskusi atau berbicara serius. Gadis pun tahu saat gelap ia harus menjadi bodoh dan terlihat senantiasa senang kembali. Saat pagi tiba pun tetap tak ada yang mengenalinya. Ia percaya pada pepatah bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Menelan setiap lara dalam hidup. Mengabaikan setiap cakaran dan tusukannya. Mengingatnya kembali hanya saat sendiri. Karenanya ia tak pernah ingin menghabiskan malam sendiri! Lara tersebut keluar dari kandang-kandangnya, mengoyak, dan mencabik dirinya, hingga letih. Tertidur bersama aliran air mata yang tak kunjung kering.

Tapi. Tapi tidak pada selasa malam itu. Seseorang mempermainkan tubuh dan jiwanya dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana bisa? Entah.

“Mengapa kau senang melakukan ini?” ujar lelaki itu.
“Memangnya kenapa?”
“Hanya saja tubuh ini terlalu berharga untuk kau lempar kesana-kemari tanpa bayaran”
“Tubuh ini hanya daging. Daging pun hanya daging. Tak lebih, tak kurang. Mungkin di dalamnya ada darah, syaraf, dan tulang untuk menopangnya. Namun lagi-lagi ini hanya daging.”
“Jika tubuh ini memang hanya daging, mengapa jiwa membutuhkannya untuk hidup? Mengapa jiwa tidak bisa hidup sendiri tanpa tubuh? Bagaimana sebuah esensi dapat berarti tanpa eksistensi?”

Entah, tapi badan ini seakan sepadan dengan lara yang kutakuti..
Hanya saja
Pertanyaan tersebut terus berputar dalam kepala
Namun
Entah.

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare

Arranged: Menghidupkan Tradisi dalam Masyarakat Plural

Perbenturan budaya, dalam konteks positif ataupun negatif, dalam kota metropolitan menjadi hal yang biasa terjadi. Film Arranged yang ditulis oleh Stefan Schaefer menghadirkan fenomena ini dalam bentuk persahabatan antara Rochel Meshenberg, seorang Yahudi Ortodoks, dengan Nasira Khaldi, seorang Muslim keturunan Suria. Brooklyn, New York, menjadi latar belakang dari berlangsungnya hubungan mereka. Film independen asal Amerika yang diproduksi oleh Cicala Filmworks ini membuka narasi dengan menunjukan bagaimana Rochel dan Nasira yang bekerja sebagai guru baru di sebuah sekolah umum menghadirkan identitas yang berbeda dari guru-guru lainnya. Identitas Yahudi dan Islam yang dihadirkan sempat dijadikan sorotan oleh murid-murid dan kepala sekolah mereka. Persahabatan mereka pun diwarnai dengan bagaimana mereka bercerita tentang tradisi yang dimiliki masing-masing, hingga masalah perjodohan beserta dilemanya yang dimiliki keduanya. Rochel sebagai Yahudi Ortodoks harus menentukan pilihan atas