Kamis malam awal Maret lalu, di salah satu sudut pinggiran kabupaten Sumedang, tak jauh dari kampus empat perguruan tinggi besar, sembilan pemuda (yang akan disebutkan dengan nama samaran) berkumpul di rumah seorang kawan mereka. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa baru, tapi ada pula yang dari tingkat dua dan tiga. Mahasiswa dari kampus yang berbeda-beda ini dipersatukan oleh latar belakang hobi yang sama, dan tentunya alkohol. Mereka bercanda, makan malam, serta bermain kartu. Sebuah rutinitas untuk memangkas waktu bersama. Salah seorang hadir membawakan permainan baru bagi malam itu. Permainan tersebut tertanam dalam tiga lintingan kecil dan tersembunyi di dalam kotak rokok. Tentunya bukan rokok dan terlalu mungil untuk ganja. Mereka sebuah tembakau yang akrab dengan julukan “sinte” atau “ganja sintetis”.
Salah seorang dari mereka, Jarwo, mengambil dan menyulutnya. Ia mengisap hanya dalam satu tarikan. Dilanjutkan ke temannya, Andre, yang memang sudah terbiasa menggunakannya. Tanpa ragu-ragu, Andre langsung mengisap sekitar tiga tarikan. Jarwo pun lama-kelamaan terlihat sulit menahan beban di kepalanya. Tak lama kemudian, ia tidur. Andre tak terkena reaksi apapun. Dalam bentuk pertemanan semacam ini, lintingan memang menjadi sesuatu yang diputarkan secara bergilir. Rizki, yang sebelumnya sudah minum alkohol cukup banyak, ikut mengisap, tapi hanya satu isapan. Bambang, yang sebelumnya belum pernah mencoba, juga ikut hanya satu isapan. Saat itu pula putaran berhenti.
Rizki duduk dengan kaki menyila dan kepala menunduk tanpa bergerak sama sekali, seperti patung yang memang diciptakan dalam bentuk seperti itu. Bambang langsung kejang dan mengguling-gulingkan diri dalam ruangan tersebut. Ia muntah di sembarang tempat, memental-mentalkan diri, menyeretkan dirinya ke luar ruangan, dan lanjut muntah. Hal tersebut berlangsung sekitar 15 hingga 20 menit. Teman-temannya menenangkan dirinya dan mengatakan bahwa efeknya tak akan berlangsung lama, ikuti saja putarannya, jangan melawan, jangan bingung, tenang, dan sebagainya. Tak lama ketika Bambang sudah tenang, Rizki akhirnya muntah dan dibantu oleh beberapa kawan yang masih sadar. Setengah jam setelah berbagai kejadian berlangsung, Andre melanjutkan hisapannya, saat itu ia telah mengambil tarikan kedelapan. Tubuhnya tak sedikit pun mengalami efek samping, bahkan ia masih merasa kurang. “Naik, tapi teu (tidak) naik-naik teuing (banget)”. Wajar saja, dia sudah terbiasa dan membutuhkan dosis yang lebih untuk dapat merasakan apa yang dirasakan oleh kawan-kawannya.
Pemandangan semacam ini memang bukan lagi hal baru bagi mereka yang biasa menggunakannya. Pemandangan yang hanya didapatkan dari tembakau gorilla. Kejadian-kejadian aneh yang dialami mereka biasa disebut dengan “kesurupan”. Meronta-ronta, kejang, membatu, ataupun muntah. Bagi mereka, kuncinya adalah jangan melawan rasa yang hadir, tapi mengikuti arus rasa yang diberikan olehnya.
Synthetic cannabinoids atau yang akrab dengan sebutan ganja sintetis atau tembakau super merupakan jenis masuk dalam kategori new psychoactive substances (NPS) atau narkoba jenis baru dan baru masuk dalam Golongan 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba pada awal tahun ini, tepatnya 9 Januari 2017. Keberadaan ganja sintetis ini mulai tercium masyarakat sejak hebohnya media karena salah satu presenter acara musik di televisi ditangkap karena kepemilikannya, yakni tahun 2013. Namun ia tidak terjerat hukum karena pada saat itu memang belum ada hukum yang mengaturnya.
Penyebaran dan tren penggunaannya hadir di seluk-seluk jalan ibukota hingga kampus-kampus terkenal. Mahasiswa dengan inisial RF merupakan salah seorang yang sempat menjadi pemakai dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia mengenalnya pada Maret 2016. Pada kisaran waktu itu, ganja sintetis memang sedang menjadi tren hangat bagi sebagian mahasiswa tongkrongan di kampusnya. Informasi tentang apa dan bagaimana dampaknya pun masih tidak jelas. RF mendapat ganja sintetis atau yang disebutnya dengan istilah sinte sendiri dari teman dekatnya. Sebelumnya mereka memang senang menggunakan ganja yang alami. Namun, selayaknya beberapa pengguna lainnya, ia tidak menyukai efek yang dirasakannya pada saat awal menggunakannya.
“Hanya mencoba tiga shot (tarikan), ternyata saya kelabakan dan emang efeknya gila, hingga tidak sadar dan ingin mati,” cetus RF saat menceritakan tentang pengalaman pertamanya.
Setelah dua minggu dari pemakaian awal, temannya kembali membawa sinte tersebut. Ia mencoba kembali dengan tarikan yang ia kurangi. Dari sana, tubuhnya mulai dapat merasakan kenikmatannya. Barang yang pada awalnya ia dapatkan secara gratis, lama-kelamaan ia turut patungan bersama teman-temannya untuk mendapatkannya. Semakin lama, tubuhnya semakin menyesuaikan diri, sehingga dosis yang dihirup harus terus dinaikkan agar senantiasa mendapatkan sensasinya.
“Harganya Rp 150.000/2-3 gram. Itu standar pasar. Awalnya, 2 gram tersebut bisa bertahan hingga satu sampai dua minggu,” tutur RF sambil minum kopi tubruk suatu malam di salah satu cafe dekat kampus. “semakin sering menggunakan,dosisnya semakin tinggi. Bisa membeli hingg Rp 600.000 dan hanya bertahan selama tiga hari. Karena tidak ada uang, akhirnya beli lintingan sekitar Rp 25.000,” lanjutnya.
Ia mencapai pada titik di mana harus menjual barang-barangnya dan menjadi pengedar untuk mendapatkan ganja sintetis tersebut. Hal yang memang umum terjadi. Jenis-jenis ganja sintetis ini pun beragam, ada yang ringan dalam artian ia memiliki efek yang “naik” yang rendak dan dalam jangka waktu pendek. Ada pula yang memiliki efek “naik” yang tinggi dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Pada umumnya, ia hanya bertahan sekitar 5-15 menit. Namun dalam perkembangan pasarnya, ia mampu menghadirkan jenis yang mampu menghadirkan efek dengan jangka waktu yang lebih lama, bahkan hingga semalaman.
“Efek yang ditimbulkan, gua bisa memukul orang, sering berbohong, kasar sama orang, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang,” tutur RF. Hal ini dibenarkan melalui pernyataan Arifah Nur Istiqomah, Kepala Program Studi Jurusan Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran sekaligus Psikiatri Umum dan Adiksi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Ia memaparkan bagaimana ganja sintetis memunculkan perilaku agresi pada pecandunya. Hal yang sama dipaparkan psikiater asal Rumah Sakit Jiwa Dr.Soeharto Heerdjan, Adhi Hidayat yang sempat merawat tiga dari lima pasien pengguna ganja sintetis karena perilaku agresi yang ditimbulkan.
Di Australia, ganja sintetis ini memang telah beredar sejak tahun 2004. Di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat kasus kematian akibat penggunaan ganja sintetis ini pun sering terjadi. Ganja sintetis yang identik dengan nama pasar sebagai K2 atau spice di Inggris Raya, Amerika, dan Australia ini pada akhirnya menarik pihak peneliti dan hukum untuk menindaklanjutinya. Bahkan ada group di Facebook dengan nama Fake Pot Horror Stories: The Dangers of Synthetic Marijuana yang sempat menjadi wadah untuk menyebarkan informasi terkait dampak-dampak negatif dari penggunaan ganja sintetis ini.
*nama-nama yang disebutkan pada paragraf awal merupakan nama samaran.
Ditulis oleh: Fadiyah dan Muhammad Iqbal
Tulisan terkait:
Alternatif Baru Dari Ganja Alami
Rekam Jejak Ganja Sintetis
Payung Hukum Belum Kuat
Perbedaan Dari Yang Serupa
Gangguan Akibat Synthetic Cannabinoid
Comments
Post a Comment