Penamaan ganja sintetis ternyata dianggap kurang tepat bagi beberapa orang. Kami berhasil mewawancarai beberapa orang untuk mencari tahu apa saja perbedaan dari yang “katanya” ganja sintetis atau tepatnya sintetik cannabinoid (SC) dan ganja alami. Hasil yang kami gali berkaitan dengan penamaan, efek yang dirasakan, hingga pada dampaknya. Mereka menyadari perbedaan tersebut biasanya setelah pernah memakai keduanya.
RF, salah satu pengguna aktif dari SC mengaku awalnya ia diberi yang ganja alami. Ia merasakan efek yang berbeda ketika menggunakan ganja alami dan SC.
“Awalnya nyobain sekali dan gak langsung dikasih ganja sintesis tapi dikasih ganja asli terus gua senang karena efeknya enak. Dari situ gak mau lagi dan itu cuma buat iseng-iseng aja. Abis itu gua make yang sintetis, pertamanya gak enak, terus kedua kali nyoba lagi di waktu yang berbeda dengan jeda waktu dua mingguan lah, awal make di bulan Maret. pas nyobain satu setengah ternyata emang bener enak dari situ besok besoknya lagi gua make terus,” ungkap RF mengenai pengalaman terhadap efek SC dan yang alami.
Kemudian, RF menduga kalau itu sama saja dengan yang alami. Alasan dia memakai dia merasa si ganja sintesis yang awalnya bikin masalah ini kalo dipakai terus-terusan malah gak bikin takut dan bikin tenang. Menurut RF durasi “ngefly” pada umumnya cuma 5 menit. Beda sama ganja yang efeknya bisa sampe 30 menitan. Dia mencari yang efeknya bisa sampe 30 menitan pada SC da ternyata ia menemukan ada juga yang sampai setengah hari dan itu lama, namanya gitinglama..
Pengalaman serupa dirasakan oleh D, ia merasakan adanya perbedaan antara SC dan ganja alami. Bedanya D lebih menyukai yang alami dan jenis narkoba lainnya. Menurutnya, SC bikin pusing, enek, dan tidak enak efeknya. Tapi kalo yang alami masih suka.
“Bedanya ada kalau make yang sinte (sebutan untuk SC), sama alami. Kalau yang sinte misalnya abis make narkoba yang lain, kayak sabu, ketika make sinte naiknya berubah. Pas yang sinte udah turun, balik lagi ke naik karena sabu. Nah, kalo yang asli, semisal abis make sabu, naiknya berubah ke naik ganja, tapi pas ganjanya udah turun, badan berasa sehat lagi, gak balik naik ke narkoba sebelumnya,” ujar D menjelaskan perbedaan keduanya.
“Pemakai” yang lain juga menyadari adanya perbedaan antara kedua jenis itu setelah menggunakannya. T misalnya, mengaku merasa kalau dari fisik keduanya jauh berbeda, SC cenderung seperti bakau biasa, kalau yang alami lebih mirip teh.
“Kalau maneh (kamu) beli yang alami, serapi apa pun masih ada batang, atau biji-bijinya. Kalau sinte itu gak ada sama sekali kayak bakau biasa. Warna (sinte) cenderung coklat, sedangkan yang alami pucatnya ijo pucat, paling basahnya ijo terang. Kalau buat ngerasain efeknya, kalau sinte cenderung cepet,” Ungkap T mengenai perbedaan dari segi fisik dan efeknya
Meskipun terkadang dianggap serupa, Dhira Narayana, Aktivis Lingkar Ganja Nusantara (LGN) menjelaskan kalau keduanya berbeda jauh. Baginya, penamaan ganja sintetits malah merusak nama ganja itu sendiri. Dhira menjelaskan bahwa perbedaannya bagaikan apel sama jeruk atau jeruk sama kelapa. Ganja sintesis itu bukan ganja dan dia tidak tahu itu apa, zatnya apa.
“Kalau mau dibandingin ya ganja alami sama produk obat-obatan yang ada ganja. Ganja alami sebanyak dia punya kandungan. Kalau yang alami dimasukan ke tubuh efeknya sangat sulit dijelaskan karena zatnya banyak, sedangkan obat-obatan bisa diprediksi dampaknya. Kalo alami kita hisap kita rasa,” Ucap Dhira dengan suara yang cukup keras untuk menegaskan perbedaan kedua jenis itu.
Dhira pun sangat menyayangkan para pengguna “yang namanya ganja sintetis” atau SC. Ia kasihan dengan orang yang akhirnya memilih memakai ganja sintetis. Kesalahannya adalah jadinya ganja dianggap sebagai tanaman sebagai kesenangan semata. Menurut Dhira, jadinya ganja tidak dianggap sebagai tanaman yang sakral, ketika kehilangan harus mencari sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan dia.
Sepaham dengan Dhira, T pun ternyata merasa SC itu lebih buruk daripada yang alami. Menurutnya, ketika menemukan yang alami, untuk apa menggunakan yang palsu sedangkan hukumnya sama.
“Dia (SC) kan sekarang masuk kategori canabinoid. Itu maneh (kamu) pake yang palsu dapet hukum ori (ganja). Kenikmatannya pun maneh gak dapet, jadi kalo kata urang (saya) mending pake yang ori aja. Urang make (sinte) ketika gakada (ganja) aja,” ucap T.
Penamaan ganja sintetis sendiri sebenarnya adalah cara agar membuatnya laris, selain penamaan yang digunakan di Indonesia ditujukan untuk mengecoh. Dania Putri, Ahli Aturan Obat-Obatan Internasional dan Kebijakan Obat-Obatan di Asia Tenggara, menanggapi mengenai penamaan ganja sintetis. Menurut Dania kata 'ganja' digunakan karena alasan yang sangat sederhana. Masyarakat sudah familiar dengan istilah 'ganja', dan juga dengan bentuk dan efek ganja. Jadi penggunaan istilah ganja, dari sisi marketing, cukup strategis karena dapat menarik perhatian masyarakat (dan pembeli), terutama adalah kalangan muda.
Seperti data yang tercantum dalam Journal of Psychiatry, Addiction, and Neuroscience jenis narkoba yang paling banyak digunakan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa selama setahun, 2015-2016, yaitu sebesat 29,5 SLTP, 35,0 SLTA, dan Perguruan Tinggi 53,1, semuanya pernah menggunakan narkoba jenis ganja. Oleh karena itu, ganja sintetis itu memanfaatkan nama ganja karena memang sudah tidak asing lagi dengan nama tersebut.
Di sisi lain, bisa kita lihat juga, penggunaan istilah "tembakau" (Gorila) sepertinya dapat dinilai lebih strategis dalam konteks menghindari proses investigasi, penangkapan, dan sebagainya - karena tembakau merupakan produk legal biasa (seperti teh, kopi, dan lain-lainya).
“Penggunaan istilah 'ganja' juga dapat menarik perhatian aparat penegakan hukum, sedangkan penggunaan istilah-istilah baru juga dapat menarik perhatian konsumen. Maka dari itu, istilah 'ganja' hanya digunakan dalam proses pemasaran yang sifatnya lebih informal, atau via word of mouth,” ujar Dania.
Terkait perbedaan efek dan dampak dari ganja sintetis sendiri, kami bertanya ke Hari Nugroho, pemegang bagian rehabilitasi di BNN, dan Adhi Hidayat dari pihak Kementerian Kesehatan. Hari menegaskan efek samping SC harus dijelaskan dulu sifatnya. SC memiliki ikatan yang lebih kuat dibandingkan THC alami dengan reseptor di tubuh. Hal tersebut membuatnya lebih kuat dan sulit dilepas. Efeknya pun menjadi lebih powerful. Kalau ganja alami halusinasinya biasa, kalau SC kuat.
“Ada orang yang bilang pake tembakau gorilla seperti ditiban gorilla hingga susah ngapa-ngapain hingga parno dan gak mau gerak. Ia juga terlihat bengong itu karena halusinasi yang kuat. Otak yang tadinya normal jadi kacau. Bisa mencapai gangguan jiwa, seperi agresif, agitatif, dan itu berbahaya,” ujar Hari.
Pihak Kementerian Kesehatan, Adhi Hidayat pun menjelaskan yang memang serupa dengan beberapa narasumber sebelumnya, Mereknya memang beragam tergantung daerahnya. Kalau misalnya berbicara mengenai efeknya, efeknya ada yang halusinasi, kemudian emudian agitasi.
“Pengguna bisa mukul orang. Pasien saya itu beberapa memukul orang tuanya. Paranoidnya lebih hebat, jadi curiga dan merasa orang lain jahat sama dirinya. Kalau kita liat orang nyimeng ganja biasa kan ya senang-senang gitu, kayak ngefly gitu, halusinasi juga, tapi ini (ganja sintetis) jauh lebih parah. Paranoidnya lebih parah, halusinasinya lebih parah,” jelas Adhi
Meski dikenal dengan nama yang sama dan memiliki efek serupa, pada kenyataannya kedua jenis tersbeut berbeda. Dalam penelitian survei pada 80.000 pengguna narkoba menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan SC memiliki risiko 30 kali lipat berakhir di Unit Gawat Darurat dari pengguna ganja tradisional (alami).
Arifah Nur Istiqomah, Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa bidang Psikiatri Universitas Padjadjaan, mengatakan “gejala yang muncul pada pengguna SC dan yang alami biasanya berupa reaksi fisik akut, seperti mual dan muntah, sesak napas, hipertensi, nyeri dada, dan kadang-kadang gagal ginjal akut. Ya, serupa, tapi perbedaan alami dengan SC akan lebih parah yang SC.”
Ditulis oleh: Fadiyah dan Muhammad Iqbal
Tulisan terkait:
"Mainan" Baru Candu Baru
Alternatif Baru Dari Ganja Alami
Rekam Jejak Ganja Sintetis
Payung Hukum Belum Kuat
Gangguan Akibat Synthetic Cannabinoid
RF, salah satu pengguna aktif dari SC mengaku awalnya ia diberi yang ganja alami. Ia merasakan efek yang berbeda ketika menggunakan ganja alami dan SC.
“Awalnya nyobain sekali dan gak langsung dikasih ganja sintesis tapi dikasih ganja asli terus gua senang karena efeknya enak. Dari situ gak mau lagi dan itu cuma buat iseng-iseng aja. Abis itu gua make yang sintetis, pertamanya gak enak, terus kedua kali nyoba lagi di waktu yang berbeda dengan jeda waktu dua mingguan lah, awal make di bulan Maret. pas nyobain satu setengah ternyata emang bener enak dari situ besok besoknya lagi gua make terus,” ungkap RF mengenai pengalaman terhadap efek SC dan yang alami.
Kemudian, RF menduga kalau itu sama saja dengan yang alami. Alasan dia memakai dia merasa si ganja sintesis yang awalnya bikin masalah ini kalo dipakai terus-terusan malah gak bikin takut dan bikin tenang. Menurut RF durasi “ngefly” pada umumnya cuma 5 menit. Beda sama ganja yang efeknya bisa sampe 30 menitan. Dia mencari yang efeknya bisa sampe 30 menitan pada SC da ternyata ia menemukan ada juga yang sampai setengah hari dan itu lama, namanya gitinglama..
Pengalaman serupa dirasakan oleh D, ia merasakan adanya perbedaan antara SC dan ganja alami. Bedanya D lebih menyukai yang alami dan jenis narkoba lainnya. Menurutnya, SC bikin pusing, enek, dan tidak enak efeknya. Tapi kalo yang alami masih suka.
“Bedanya ada kalau make yang sinte (sebutan untuk SC), sama alami. Kalau yang sinte misalnya abis make narkoba yang lain, kayak sabu, ketika make sinte naiknya berubah. Pas yang sinte udah turun, balik lagi ke naik karena sabu. Nah, kalo yang asli, semisal abis make sabu, naiknya berubah ke naik ganja, tapi pas ganjanya udah turun, badan berasa sehat lagi, gak balik naik ke narkoba sebelumnya,” ujar D menjelaskan perbedaan keduanya.
“Pemakai” yang lain juga menyadari adanya perbedaan antara kedua jenis itu setelah menggunakannya. T misalnya, mengaku merasa kalau dari fisik keduanya jauh berbeda, SC cenderung seperti bakau biasa, kalau yang alami lebih mirip teh.
“Kalau maneh (kamu) beli yang alami, serapi apa pun masih ada batang, atau biji-bijinya. Kalau sinte itu gak ada sama sekali kayak bakau biasa. Warna (sinte) cenderung coklat, sedangkan yang alami pucatnya ijo pucat, paling basahnya ijo terang. Kalau buat ngerasain efeknya, kalau sinte cenderung cepet,” Ungkap T mengenai perbedaan dari segi fisik dan efeknya
Meskipun terkadang dianggap serupa, Dhira Narayana, Aktivis Lingkar Ganja Nusantara (LGN) menjelaskan kalau keduanya berbeda jauh. Baginya, penamaan ganja sintetits malah merusak nama ganja itu sendiri. Dhira menjelaskan bahwa perbedaannya bagaikan apel sama jeruk atau jeruk sama kelapa. Ganja sintesis itu bukan ganja dan dia tidak tahu itu apa, zatnya apa.
“Kalau mau dibandingin ya ganja alami sama produk obat-obatan yang ada ganja. Ganja alami sebanyak dia punya kandungan. Kalau yang alami dimasukan ke tubuh efeknya sangat sulit dijelaskan karena zatnya banyak, sedangkan obat-obatan bisa diprediksi dampaknya. Kalo alami kita hisap kita rasa,” Ucap Dhira dengan suara yang cukup keras untuk menegaskan perbedaan kedua jenis itu.
Dhira pun sangat menyayangkan para pengguna “yang namanya ganja sintetis” atau SC. Ia kasihan dengan orang yang akhirnya memilih memakai ganja sintetis. Kesalahannya adalah jadinya ganja dianggap sebagai tanaman sebagai kesenangan semata. Menurut Dhira, jadinya ganja tidak dianggap sebagai tanaman yang sakral, ketika kehilangan harus mencari sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan dia.
Sepaham dengan Dhira, T pun ternyata merasa SC itu lebih buruk daripada yang alami. Menurutnya, ketika menemukan yang alami, untuk apa menggunakan yang palsu sedangkan hukumnya sama.
“Dia (SC) kan sekarang masuk kategori canabinoid. Itu maneh (kamu) pake yang palsu dapet hukum ori (ganja). Kenikmatannya pun maneh gak dapet, jadi kalo kata urang (saya) mending pake yang ori aja. Urang make (sinte) ketika gakada (ganja) aja,” ucap T.
Penamaan ganja sintetis sendiri sebenarnya adalah cara agar membuatnya laris, selain penamaan yang digunakan di Indonesia ditujukan untuk mengecoh. Dania Putri, Ahli Aturan Obat-Obatan Internasional dan Kebijakan Obat-Obatan di Asia Tenggara, menanggapi mengenai penamaan ganja sintetis. Menurut Dania kata 'ganja' digunakan karena alasan yang sangat sederhana. Masyarakat sudah familiar dengan istilah 'ganja', dan juga dengan bentuk dan efek ganja. Jadi penggunaan istilah ganja, dari sisi marketing, cukup strategis karena dapat menarik perhatian masyarakat (dan pembeli), terutama adalah kalangan muda.
Seperti data yang tercantum dalam Journal of Psychiatry, Addiction, and Neuroscience jenis narkoba yang paling banyak digunakan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa selama setahun, 2015-2016, yaitu sebesat 29,5 SLTP, 35,0 SLTA, dan Perguruan Tinggi 53,1, semuanya pernah menggunakan narkoba jenis ganja. Oleh karena itu, ganja sintetis itu memanfaatkan nama ganja karena memang sudah tidak asing lagi dengan nama tersebut.
Di sisi lain, bisa kita lihat juga, penggunaan istilah "tembakau" (Gorila) sepertinya dapat dinilai lebih strategis dalam konteks menghindari proses investigasi, penangkapan, dan sebagainya - karena tembakau merupakan produk legal biasa (seperti teh, kopi, dan lain-lainya).
“Penggunaan istilah 'ganja' juga dapat menarik perhatian aparat penegakan hukum, sedangkan penggunaan istilah-istilah baru juga dapat menarik perhatian konsumen. Maka dari itu, istilah 'ganja' hanya digunakan dalam proses pemasaran yang sifatnya lebih informal, atau via word of mouth,” ujar Dania.
Terkait perbedaan efek dan dampak dari ganja sintetis sendiri, kami bertanya ke Hari Nugroho, pemegang bagian rehabilitasi di BNN, dan Adhi Hidayat dari pihak Kementerian Kesehatan. Hari menegaskan efek samping SC harus dijelaskan dulu sifatnya. SC memiliki ikatan yang lebih kuat dibandingkan THC alami dengan reseptor di tubuh. Hal tersebut membuatnya lebih kuat dan sulit dilepas. Efeknya pun menjadi lebih powerful. Kalau ganja alami halusinasinya biasa, kalau SC kuat.
“Ada orang yang bilang pake tembakau gorilla seperti ditiban gorilla hingga susah ngapa-ngapain hingga parno dan gak mau gerak. Ia juga terlihat bengong itu karena halusinasi yang kuat. Otak yang tadinya normal jadi kacau. Bisa mencapai gangguan jiwa, seperi agresif, agitatif, dan itu berbahaya,” ujar Hari.
Pihak Kementerian Kesehatan, Adhi Hidayat pun menjelaskan yang memang serupa dengan beberapa narasumber sebelumnya, Mereknya memang beragam tergantung daerahnya. Kalau misalnya berbicara mengenai efeknya, efeknya ada yang halusinasi, kemudian emudian agitasi.
“Pengguna bisa mukul orang. Pasien saya itu beberapa memukul orang tuanya. Paranoidnya lebih hebat, jadi curiga dan merasa orang lain jahat sama dirinya. Kalau kita liat orang nyimeng ganja biasa kan ya senang-senang gitu, kayak ngefly gitu, halusinasi juga, tapi ini (ganja sintetis) jauh lebih parah. Paranoidnya lebih parah, halusinasinya lebih parah,” jelas Adhi
Meski dikenal dengan nama yang sama dan memiliki efek serupa, pada kenyataannya kedua jenis tersbeut berbeda. Dalam penelitian survei pada 80.000 pengguna narkoba menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan SC memiliki risiko 30 kali lipat berakhir di Unit Gawat Darurat dari pengguna ganja tradisional (alami).
Arifah Nur Istiqomah, Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa bidang Psikiatri Universitas Padjadjaan, mengatakan “gejala yang muncul pada pengguna SC dan yang alami biasanya berupa reaksi fisik akut, seperti mual dan muntah, sesak napas, hipertensi, nyeri dada, dan kadang-kadang gagal ginjal akut. Ya, serupa, tapi perbedaan alami dengan SC akan lebih parah yang SC.”
Ditulis oleh: Fadiyah dan Muhammad Iqbal
Tulisan terkait:
"Mainan" Baru Candu Baru
Alternatif Baru Dari Ganja Alami
Rekam Jejak Ganja Sintetis
Payung Hukum Belum Kuat
Gangguan Akibat Synthetic Cannabinoid
Comments
Post a Comment