Pelarian dua insan yang berujung pada sebuah meja pada salah satu sudut Ibu Kota bertepatan saat bulan menancapkan dirinya tepat di atap langit. Ruangan yang pekat dengan asap rokok. Sesekali tercium aroma ganja di daerah toiletnya. Dentuman musiknya menarik setiap orang yang sedang dalam pelarian. Mendorong mereka untuk terus menari seolah tak ada yang sedang mengejarnya.
Selayaknya insan lain yang berada dalam ruang tersebut, mereka berdua pun sama-sama dalam pelarian. Pelarian dari sepi. Ramai pun tumbuh saat kedua sepi saling menyapa. Wanita yang menutup dirinya dalam kaos putih, celana jeans dengan robek alami pada bagian lutut, serta hanya menggunakan lipstik pink muda dan bedak. Tak sedikit pun usaha untuk menarik pria, atau memang bukan itu yang ia harapkan untuk malam ini. Seorang lelaki dengan kemeja Zara hitam, badan tegap, dan meradiasikan aroma Hugo Boss yang tetap tercium dalam pekatnya asap rokok dan aroma tumpahan alkohol dalam ruang gelap tersebut. Percakapan sederhana yang berawal dari tawaran segelas tequilla untuk wanita yang sedang termenung dengan birnya sendiri. Percakapan yang dihindari oleh wanita tersebut pada awalnya. Wanita hanya ingin menenggelamkan diri dalam keramainan, bukan menjadi bagiannya.
“Kerja atau kuliah?”
“Kuliah,” ujar sang wanita.
“Di mana?”
“Sastra Indonesia, Depok”
Percakapan lama-kelamaan berkembang dan membongkar imajinasi mereka. Dimulai dari kisah soal masa kecil, hingga imajinasi soal impian untuk memiliki orang tua peri layaknyah salah satu kartun masa kecil, atau memiliki kendaraan berupa naga yang mampu menjaga sekaligus menghibur. Mereka pun membangun imaji masing-masing. Sang wanita bercerita tentang dirinya yang masih perawan, bercita-cita menjadi bagian dari ketiadaan, jatuh cinta pada karyanya Paulo Coelho, khususnya yang Eleven Minutes, kisah seorang wanita yang bercita-cita menjadi model, tapi realitas membawanya untuk menjadi pelacur. Ia bercerita tentang hobinya melamun dan sadar bahwa lamunan dan realitas takakan pernah menjadi satu-kesatuan. Ia jatuh cinta pada alunan musik Lana Del Rey. Sang pria pun tak henti bercerita dan menanggapi kisahnya.
“Kalau saya suka banget karya-karyanya Chuck Palahniuk. Udah pernah baca belum?”
“Saya cuma tahu salah satunya, itupun hanya menonton filmnya. Fight Club,” ujar wanita.
Pria pun langsung menanggapinya dengan cerita soal karya-karya Chuck Palahniuk.
Tentunya dengan antusias. Pria bercerita tentang dirinya yang memang suka menulis novel dan seringkali menjadi kontributor dalam media-media alternatif. Banyak ucapan dari sang pria yang tidak dimengerti oleh wanita. Namun sang wanita hanya membalasnya dengan senyum atau tawa saat ia tak mengerti. Teguk demi teguk tequilla dengan bir lemon sebagai penetral terus menghangatkan malam mereka dan mengantar mereka ke imaji yang lebih jauh. Sebuah balon terbentuk di antara mereka di mana hanya terdapat mereka, kisah-kisah, tawa, dan alkohol. Bahkan asbak yang tadinya tak henti diisi oleh wanita, kini teranggurkan.
Mereka bercerita seolah tak punya dosa. Mereka saling menatap seolah tak memiliki hasrat. Mereka bercengkrama selayaknya dua anak kecil yang sedang membayangkan dirinya berada di atas awan dan akan terjun melalui pelangi. Malam yang panjang diisi oleh percakapan penuh impian. Tak ada satupun yang nyata dari ucapan mereka. Betapa indahnya berpura-pura, sekalipun hanya semalam.
Wanita tersebut tak lain ialah kupu-kupu malam yang berterbangan sekitar Blok M setiap malamnya untuk mencari nafkah. Terjebak dari tawaran untuk bekerja menjadi model seperti kisah dalam novel yang kini menjadi kesukaannya. Lelaki tersebut tak lain ialah penulis yang baru saja gagal (lagi) mencetak bukunya. Teguk demi teguk, dunia dongeng yang terbangun pun semakin elok.
Sebuah gelembung yang aman dan nyaman. Jauh dari monster masing-masing. Kejujuran dalam malam itu hanya akan meruntuhkan sebuah mahakarya dunia dongeng yang terlanjur dibuat dengan begitu hati-hati. Hanya akan mengeluarkan monster yang ditakutkan masing-masing. Bahkan dalam keadaan mabuk. Mereka mempertahankan tiang-tiang dalam dunia yang baru saja mereka bangun. Tak ingin melepasnya, tapi tak mungkin pula mempertahankannya. Ia hanya berumur semalam. Hanya pada malam ini para monster dapat tidur dengan lelap. Hanya pada malam ini mereka dapat memilih sinar mana yang ingin mereka pancarkan. Sebuah luapan kebahagiaan dalam ilusi.
Saling mendongeng dan mendengarkan dongeng di malam hari. Kapan lagi sang pelacur dapat mendengarkan dongeng sebelum tidur apabila bukan malam ini? Kapan lagi penulis yang terus gagal mencetak novelnya dapat menceritakan dongeng di depan orang yang antusias mendengarkannya. Biarpun itu hanya ilusi, setidaknya mereka tersenyum saat lelah tiba dan mulai tertidur dalam ilusi mereka.
Saat musik mulai berhenti, insan-insan di sekitar mereka mulai keluar, bartender mulai merapikan meja-meja, mereka pun berpisah. Tak ada tawaran untuk menginap di hotel. Tak ada tawaran untuk mengantarkan pulang. Sebuah pelukan dan ciuman menutup kisah panjang dan hangat ini. Air mata menggantung di ujung mata sang wanita. Sebuah pelukan yang sudah lama sekali rasanya tak pernah ia rasakan. Pelukan tulus tanpa pergerakan tangan yang menjelajahi tubuhnya lebih jauh.
Sejak malam itu, mereka tidak pernah kembali lagi ke ruang yang sama itu. Mereka pun memang sama-sama memiliki harapan untuk tidak bertemu lagi. Biarkan cerita ini hanya bertahan semalam. Ia terlalu indah dan berharga untuk menjadi berulang. Jangan sampai bertemu di lain malam. Jangan pula mereka bertemu di luar ilusi. Itulah keindahan mereka yang mereka bangun, tak pernah saling mengenal, hanya saling berdongeng. Berlari sambil bergandengan tangan hingga kabut menyapa dan genggaman terlepas. Mereka hanya saling mengenal dalam cita. Tak ingin ditelanjangi oleh realitas. Tak ingin dipermalukan mereka dengan identitas.
Selamat malam dan selamat pagi. Selamat tidur dan selamat beraktivitas. Selamat bernyanyi dan selamat menangis. Selamat datang dan selamat tinggal.
Comments
Post a Comment