Skip to main content

Tersesat dalam Bahasa

X. Begitulah orang-orang memanggil dirinya. Sebuah kata yang terdiri dari huruf. Satu saja, tak lebih. Sebuah huruf mewakili sebuah nama merepresentasikan seseorang. Hanya kata karena sang ibu ingin melepaskan dirinya dari makna-makna, dari marga, dari berbagai arti. Sang ibu tak ingin anak perempuannya mengalami apa yang dialami ibunya. Membawa beban atas makna dari namanya kemana-mana. Mentato identitas di wajahnya melalui marga yang tercetak di kartu identitasnya. Dituntut menjadi sebuah karakter sebagai dampak dari nama yang diberikan kedua orang tuanya. Ia tak ingin menuntut apa-apa dari anaknya.

"Silahkan buatlah makna sendiri. Bentuklah sebuah tuntutan sesuai keinginanmu. Ukirlah identitas yang tepat bagimu."

Namun sang ibu lupa. Huruf pun melahirkan makna. Kejanggalan melahirkan imajinasi yang lebih liar dalam memaknai. Ia tak pernah benar-benar berdiri sendiri. Berkaitan dengan huruf lain, benda lain, makna lain, realitas lain. Ia telah melahirkan sesuatu yang lebih luas dari yang diharapkan. Lain kadang, ia melahirkan sesuatu yang jauh lebih sempit dari yang diharapkan. Ia tak pernah sesuai dengan yang diharapkan. Kekosongan yang ia harapkan tak pernah benar-benar kosong. Bahkan kekosongan sendiri telah kehilangan maknanya saat ia lahir dalam bayangan sang ibu. Dalam bayangan sang anak. Ia tak pernah benar-benar kosong karena ia telah muncul dalam percakapan yang sengaja menimbulkan makna dan dibangun dalam bayangan sebagai sesuatu yang dianggap kosong. X. Ia telah dikoyak dan diperkosa oleh dirinya sendiri karena ia dilahirkan kembali melalui bahasa. Maknanya meluas menyempit memburuk membaik. Ia tidak pernah menjadi ia. Lantas salah siapa ini semua? X tidak pernah menjadi X sesuai harapan ibunya karena ibunya memberi tanda, huruf, bahasa yang memiliki dampak memaknainya. Gender, matematika, alfabet, porno, terlalu luas, terlalu sempit.

Ia diharapkan menjadi luar biasa karena simbolnya yang terlalu biasa. Ia diharapkan mendapat kelebihan karena namanya yang kurang. Nyatanya tak pernah. Maksud tak pernah sampai karena bahasa membunuhnya. Melenyapkan harapan akan makna, menggantinya dengan yang baru. Senantiasa menutupi wajah kusam dengan rias yang beraneka ragam.

Kekesalan menenggelamkan rasionalitasnya. Sang ibu menjadi sedemikian benci dengan bahasa. Ingin rasanya ia bunuh, ia cincang, ia perkosa balik, ia telanjangi. Bagaimana? Entah. Akhirnya, ia putuskan untuk membunuh sang anak. Seorang korban dari bahasa. Bukan! Sebuah perpanjangan dari sistem bahasa. Ia bunuh pula dirinya sendiri. Ia membuka beberapa skrup dari sistemnya. Skrup-skrup kecil itu tak lain ialah dirinya dan anaknya. Sebuah bahasa lenyap darinya seiring dengan realitas yang turut lenyap.

Comments

Popular posts from this blog

Rekonstruksi Realitas Dalam The Truman Show

     The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.   The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “we accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that” [ Scene ketika Cristof menjelaskan Mika, mengapa Truman

Komentar terhadap Paradigma Naratif

Rangkuman Paradigma naratif merupakan salah satu teori yang ditemukan oleh Walter Fisher di mana manusia dipercaya sebagai makhluk pencerita, dan pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia cenderung lebih mudah terbujuk oleh cerita yang bagus daripada argumen yang bagus. Menceritakan kisah juga merupakan esensi dari sifat dasar manusia. Lahirnya paradigma naratif menyebabkan pergeseran paradigma, di mana sebelumnya masyarakat secara umum lebih sering menggunakan paradigma rasional. Keduanya seringkali dijadikan pembanding dan untuk membedakan, di mana paradigma rasional seringkali dimaknai dengan logos sebagai logika, dan paradigma naratif dengan mitos sebagai kisah dan emosi. Paradigma naratif memberikan sebuah alternatif dari paradigma dunia rasional tanpa menegasi rasionalitas tradisional. Fisher juga menegaskan bahwa cerita, atau mitos, terkandung di dalam semua usaha komunikasi manusia (bahkan yang melibatkan logika) kare

Arranged: Menghidupkan Tradisi dalam Masyarakat Plural

Perbenturan budaya, dalam konteks positif ataupun negatif, dalam kota metropolitan menjadi hal yang biasa terjadi. Film Arranged yang ditulis oleh Stefan Schaefer menghadirkan fenomena ini dalam bentuk persahabatan antara Rochel Meshenberg, seorang Yahudi Ortodoks, dengan Nasira Khaldi, seorang Muslim keturunan Suria. Brooklyn, New York, menjadi latar belakang dari berlangsungnya hubungan mereka. Film independen asal Amerika yang diproduksi oleh Cicala Filmworks ini membuka narasi dengan menunjukan bagaimana Rochel dan Nasira yang bekerja sebagai guru baru di sebuah sekolah umum menghadirkan identitas yang berbeda dari guru-guru lainnya. Identitas Yahudi dan Islam yang dihadirkan sempat dijadikan sorotan oleh murid-murid dan kepala sekolah mereka. Persahabatan mereka pun diwarnai dengan bagaimana mereka bercerita tentang tradisi yang dimiliki masing-masing, hingga masalah perjodohan beserta dilemanya yang dimiliki keduanya. Rochel sebagai Yahudi Ortodoks harus menentukan pilihan atas