Setelah beberapa tahun berlalu, potongan-potongan gambar kecil dari suasana Bandung tiba-tiba menarikku ke kenangan di masa lampau
Sebuah kenangan yang telah kukubur secara paksa
Luka yang telah kering dan berhenti mengalirkan darah
Bagian dari hidup yang kupotong dan kuhilangkan
Setiap orang pasti memiliki sebuah bagian yang ia hapus
Entah ia berupa ruang, waktu, nama, kata
Ia pun telah kuhapus. Sebuah pojok dari Bandung yang mengandung kisah bersama sebuah nama, sebuah pengakuan, sebuah air mata, yang terangkul dalam kecupan terakhir
Kopi hitam pada malam itu sesaat terasa asin
Tanpa kusadari air mata ikut tercampur ke dalamnya
Setelah lama tersesat mencari kuburnya, akhirnya mampu kutemukan
Ia masih terhias dengan cantik sepeti terakhir kumeninggalkannya
Hari ini, ku hendak menggali kuburnya
Kusingkirkan bunga-bunga yang tertabur di atasnya, kuambil sedikit demi sedikit tanah yang menutupinya, hingga ia sedikit terbuka
Tercium aroma busuknya
Terlalu lama ia dikubur dan tidak diobati. Kugali lebih jauh, terus hingga kepalaku terlampau pening dan perutku terasa mual mencium bau busuknya
Semakin lama, semakin dalam, rasa sakit dari dalam kubur pelahan menyerang tubuhku
Ia keluar dalam buruk rupanya, arogan, marah, dengki, lara, cemburu
Menyerangku, "mengapa kau terus mengubur dan mengabaikanku selama ini?" ujarnya
Mengapa? Aku pun tak tahu, hanya saja di masa lampau aku ingin segera menyudahi dan membuangnya, tak kukira ia kan menjadi kuat dan menyerangku kembali
Pertempuran berlangsung cukup lama dan sengit
Segala yang telah terkubur menjadi kian buas dan lapar
Aku makanan mereka
Kubiarkan makhluk ini menghantamku, melalui segala bagian dari dirinya
buruk rupanya, arogan, marah, dengki, lara, cemburu
ditambah egois dan irasional
Ia, yang dahulu aku asuh
yang dahulu aku besarkan
yang dahulu aku tak menyangka bahwa aku sedang mengasuh dan membesarkan sebuah monster
Ia, yang kubentuk secara perlahan saat kasih membuatku kehilangan akal
Saat sesuatu yang kukira kasih ternyata sekadar nafsu
Saat sesuatu yang kukira kasih ternyata tak pernah mengasihi
Saat sesuatu yang kuberikan pada sesosok lelaki malam itu di sudut Bandung, yang lagi-lagi kukira kasih, ternyata hanya segumpal bangkai
Bertahun-tahun aku menyalahkannya, saat ternyata aku sendiri yang telah membangun monster dalam diriku
Salah satu buku di masa lampau pernah berkata padaku,
'perasaanmu tanggung jawabmu, kau tak bisa menyalahkan apa yang timbul dalam perasaanmu terhadap orang lain'
Aku tak bisa menyalahi lelaki itu, dia, atas perasaanku yang buta kepadanya
Aku pun tak bisa memaksa dia untuk terus menghilangkan canduku padanya
Perasaanku tanggung jawabku
Beberapa tahun yang lalu, keberadaan dia yang tak bisa memenuhi canduku membuatku marah
Membuatku mulai menyusun serangkai bintik-bintik hitam dalam tubuhku
Yang kini menjelma menjadi sesuatu yang sedang menyerangku sendiri, monster itu
Kepada waktu, kuucapkan terima kasih karena telah membangunkanku dari ilusiku sendiri
Ilusi bahwa selama ini yang kukubur ialah kenangan buruk yang ditinggalkan lelaki itu di Bandung
Kenyataan bahwa kenangan buruk itu tak lain ialah diriku sendiri
Sebuah luka yang kusayat sendiri saat canduku tak terpenuhi
Terima kasih pula untuk kesadaran sendiri
Yang membangunkanku dari mimpi yang lama kubangun sendiri
Kini, kututurkan permohonan maaf padamu, yang masih berada di pojok Bandung dan telah berada di sana sedari Orde Baru masih memerintah, yang telah menjadi bagian dari Bandung
Maaf ini kusampaikan lewat tulisan ini karena tak mungkin aku menyampaikan segalanya secara langsung
Atau tepatnya, tak mungkin aku dapat bercengkrama denganmu lagi
Dan bukankah maaf itu terlalu janggal untuk diucapkan secara langsung dalam budaya Timur ini?
Kejanggalan itu 'kan bertambah karena terlalu lamanya perceraian telah berlalu
Tak lupa, kusampaikan terima kasih
Kata yang tak sempat kututurkan karena kebaikanmu dikabuti oleh egoku
Jakarta, 2018.
Comments
Post a Comment