Namaku Aslam. Kulitku coklat. Kulit ayahku putih. Kulit ibuku hitam.
Sewaktu kecil, kukira manusia memang memiliki warna yang beragam. Namun ketika memasuki taman kanak-kanak, ternyata tidak begitu.
Ayah mengantarku di hari pertama sekolah. Semua anak-anak di sekolah mempunyai kulit yang sama seperti ayah. Putih. Aku melangkah masuk kelas mengenakan tas hitamku di punggung. Ibu guru sudah duduk di kursi depan kelas. Mata anak-anak mengarah kepadaku. Beberapa tampak bingung, sisanya berbisik-bisik sambil tertawa. Ibu guru pun sempat menatapku cukup lama sampai akhirnya ia memulai kelas.
Pelajaran pertama adalah pelajaran matematika. Pelajaran yang sebenarnya cukup menyenangkan bagiku. Namun aku tak benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan oleh guruku. Pikiranku terus mengacu pada anak-anak yang berbisik-bisik dan tertawa dengan mata-mata mengarah padaku.
Kala waktu istirahat tiba, anak-anak menertawakan dan memanggilku dengan “hitam”. Padahal aku tidak hitam, walau aku tahu bahwa aku tidak putih. Siang itu, tak ada yang mau makan siang bersamaku atau duduk sebelahku. Katanya, kulitku seperti kotoran. Katanya, kulitku beracun. Katanya, ayah menemukanku di tempat sampah waktu kecil. Siang itu, aku duduk dan makan sendiri. Beberapa dari mereka yang sedang bermain bola beberapa kali melempar dan menendang bola ke arahku.
Saat kelas berlangsung, khususnya kelas matematika, guruku terkadang juga ikut menertawakan atau memanggilku “hitam”. Karena kulitku memang lebih gelap dari mereka semua, aku pun tersadar bahwa aku memang bukan coklat. Aku hitam. Aku sama dengan ibuku.
Keadaan ini berangsur lebih panjang dari yang kukira. Beberapa bulan berlalu dengan rutinitas yang sama. Namaku berubah menjadi Hitam. Setiap siang beberapa anak menendang dan melempar bola ke arahku. Aku tak berani bilang ke ayah ataupun ibu. Sampai suatu hari, tanganku luka. Tanganku ditusuk oleh teman sekelasku menggunakan pensil. Ibu juga menemukan luka di punggungku bekas disabet dengan penggaris oleh ibu guru. Kata ibu guru, karena aku hitam, daya tangkapku lemah.
Ayah dan Ibu menanyakan apa yang terjadi dan mengapa. “Karena aku hitam,” jawabku.
Ayah dan Ibu terkejut dan marah. Mereka mendatangi sekolah. Akhirnya, ibu guru diberhentikan sementara. Aku pun dipindahkan ke sekolah lain.
Ibu mengantarkanku ke sekolah pada hari pertamaku di sekolah baru. Kali ini, aku turut dibelikan tas baru oleh kedua orang tuaku. Aku menggendongnya di kedua pundakku pada hari pertama. Kali ini, tasku berwarna putih. Warna yang seirama dengan tali sepatuku. Putih. Warna yang kontras dengan sepatuku. Hitam.
Saat kulangkahkan kaki ke dalam kelas, aku melihat ke sekitar, mencari bangku kosong. Bangku kosong yang tersisa ada di barisan tengah dan depan. Karena semua tatapan merujuk ke arahku, aku takut untuk duduk di tengah. Aku takut terperangkap di antara mereka. Bangku depan juga menjadi menakutkan saat aku sadar bangku itu berhadapan langsung dengan bangku guruku. Ibu guru yang juga menatapku. Butuh waktu beberapa lama baginya untuk tersenyum dan menunjuk bangku paling depan.
Aku hitam. Namun di kelas baru ini, mereka semua lebih hitam dariku. Mereka semua memiliki warna kulit yang sama dengan ibuku. Apa ini berarti aku kembali menjadi coklat?
Saat kumelihat ke samping dan belakang, beberapa anak-anak menatapku, sebagian lagi berbisik-bisik sambil tertawa ke arahku. Ibu guru pun kembali menatapku setelah aku menaruh tas dan duduk. Ibu guru berhenti menatapku seraya ia berdiri untuk mengajar. Namun sepanjang pelajaran berlangsung, yakni pelajaran Kesenian, ibu guru beberapa kali melemparkan arah pandangannya ke aku.
Dalam ruangan ini, sekalipun aku tidak duduk di pojok, tapi aku merasa terpojokan. Aku berusaha dengan keras menahan air mata. Aku takut menangis karena sewaktu di sekolah lama, aku sempat menangis. Mereka tambah menertawaiku, “Sudah hitam, cengeng pula,”.
Aku tak mendengar sama sekali apa yang ibu guru katakan. Yang kuketahui, aku ingin segera mengakhiri sekolah ini. Ingin segera mendengar bel pulang. Sepanjang pelajaran, mataku tak henti mengintip jam dinding. Sepertinya jam dinding itu rusak. Ia bergerak terlampau lambat. Tubuhku mulai mengeluarkan keringat. Aku ingin menangis. Aku tak boleh menangis. Aku ingin menangis. Aku tak boleh menangis.
Kriiiiing….
Akhirnya, bel berbunyi juga. Berbunyi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun aku duduk di bangku ini. Setelah sekian lama seluruh mata melihat ke aku. Aku bergegas mengambil tas dan melangkah keluar. Ibu guru menahan dengan menarik lenganku. Mati! Pikirku. Ia mungkin saja akan mengeluarkan penggaris dan menyabetnya ke tubuhku karena aku tidak sehitam mereka, karena aku lambat dalam menerima pelajaran. Terlebih, aku tak memerhatikan apa yang ia sampaikan sepanjang kelas berlangsung. Mati! Bagaimana jika iya menanyakanku sesuatu terkait pelajaran tadi dan aku tidak bisa menjawab.
“Mau ke mana? Kok bawa tas? Kan belum pulang. Baru bel istirahat,” kata Ibu Guru.
Anak-anak di kelas serempak tertawa ke arahku. Mereka memanggilku Putih. Katanya, aku dungu. Katanya, kulitku kulit anak manja. Katanya, kulitku lemah. Katanya, Ibu pasti menemukanku di tempat sampah dan tidak tega denganku.
Tak kuat untuk menahan, akhirnya, aku pun menangis. “Dia menangis! Kulit putih memang cengeng!” kata salah seorang dari mereka. Yang, lagi-lagi, mengundang tawa anak-anak lain.
“Mana, coba keluarkan kotak makanmu! Aku penasaran apa yang dimakan oleh Putih,” teriak salah seorang anak diikuti dengan tawa.
Aku tidak menjawab apa pun yang mereka katakan. Pun tak berani untuk melakukan gerakan tambahan. Mereka mengambil sendiri kotak makan dari tasku. Tas berwarna putih.
Hari berjalan sepanjang beberapa tahun. Aku tak berani bicara apa pun pada saat ibu menjemputku.
Waktu makan malam tiba. Aku takut orang tuaku akan menanyakan bagaimana hari pertama di sekolah baru. Ayah menyiapkan piring, ibu membawakan masakan dari dapur. Kami duduk bertiga di kursi masing-masing, mengerubungi satu meja yang sama. Malam ini, seperti biasanya, ayah putih. Seperti biasanya pula, ibu hitam malam ini.
“Bagaimana hari pertamamu di sekolah baru?” tanya Ayah.
“Aku ini hitam atau putih sih?” tak butuh waktu banyak untukku membalas pertanyaannya dengan pertanyaanku.
“Kamu itu hitam dan putih. Dua-duanya,” kata Ibu.
Aku menangis. Aku tak mau menjadi hitam dan putih. Aku tak mau menjadi dua hal berbeda di waktu bersamaan karena aku menjadi bukan keduanya pun bukan apa-apa. Aku menangis kejar, "aku gak mau hitam dan putih".
“Jangan nangis, sayang. Kamu coklat,” kata Ibu seraya merangkulku.
“Tapi gakada coklat!”.
Sewaktu kecil, kukira manusia memang memiliki warna yang beragam. Namun ketika memasuki taman kanak-kanak, ternyata tidak begitu.
Ayah mengantarku di hari pertama sekolah. Semua anak-anak di sekolah mempunyai kulit yang sama seperti ayah. Putih. Aku melangkah masuk kelas mengenakan tas hitamku di punggung. Ibu guru sudah duduk di kursi depan kelas. Mata anak-anak mengarah kepadaku. Beberapa tampak bingung, sisanya berbisik-bisik sambil tertawa. Ibu guru pun sempat menatapku cukup lama sampai akhirnya ia memulai kelas.
Pelajaran pertama adalah pelajaran matematika. Pelajaran yang sebenarnya cukup menyenangkan bagiku. Namun aku tak benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan oleh guruku. Pikiranku terus mengacu pada anak-anak yang berbisik-bisik dan tertawa dengan mata-mata mengarah padaku.
Kala waktu istirahat tiba, anak-anak menertawakan dan memanggilku dengan “hitam”. Padahal aku tidak hitam, walau aku tahu bahwa aku tidak putih. Siang itu, tak ada yang mau makan siang bersamaku atau duduk sebelahku. Katanya, kulitku seperti kotoran. Katanya, kulitku beracun. Katanya, ayah menemukanku di tempat sampah waktu kecil. Siang itu, aku duduk dan makan sendiri. Beberapa dari mereka yang sedang bermain bola beberapa kali melempar dan menendang bola ke arahku.
Saat kelas berlangsung, khususnya kelas matematika, guruku terkadang juga ikut menertawakan atau memanggilku “hitam”. Karena kulitku memang lebih gelap dari mereka semua, aku pun tersadar bahwa aku memang bukan coklat. Aku hitam. Aku sama dengan ibuku.
Keadaan ini berangsur lebih panjang dari yang kukira. Beberapa bulan berlalu dengan rutinitas yang sama. Namaku berubah menjadi Hitam. Setiap siang beberapa anak menendang dan melempar bola ke arahku. Aku tak berani bilang ke ayah ataupun ibu. Sampai suatu hari, tanganku luka. Tanganku ditusuk oleh teman sekelasku menggunakan pensil. Ibu juga menemukan luka di punggungku bekas disabet dengan penggaris oleh ibu guru. Kata ibu guru, karena aku hitam, daya tangkapku lemah.
Ayah dan Ibu menanyakan apa yang terjadi dan mengapa. “Karena aku hitam,” jawabku.
Ayah dan Ibu terkejut dan marah. Mereka mendatangi sekolah. Akhirnya, ibu guru diberhentikan sementara. Aku pun dipindahkan ke sekolah lain.
Ibu mengantarkanku ke sekolah pada hari pertamaku di sekolah baru. Kali ini, aku turut dibelikan tas baru oleh kedua orang tuaku. Aku menggendongnya di kedua pundakku pada hari pertama. Kali ini, tasku berwarna putih. Warna yang seirama dengan tali sepatuku. Putih. Warna yang kontras dengan sepatuku. Hitam.
Saat kulangkahkan kaki ke dalam kelas, aku melihat ke sekitar, mencari bangku kosong. Bangku kosong yang tersisa ada di barisan tengah dan depan. Karena semua tatapan merujuk ke arahku, aku takut untuk duduk di tengah. Aku takut terperangkap di antara mereka. Bangku depan juga menjadi menakutkan saat aku sadar bangku itu berhadapan langsung dengan bangku guruku. Ibu guru yang juga menatapku. Butuh waktu beberapa lama baginya untuk tersenyum dan menunjuk bangku paling depan.
Aku hitam. Namun di kelas baru ini, mereka semua lebih hitam dariku. Mereka semua memiliki warna kulit yang sama dengan ibuku. Apa ini berarti aku kembali menjadi coklat?
Saat kumelihat ke samping dan belakang, beberapa anak-anak menatapku, sebagian lagi berbisik-bisik sambil tertawa ke arahku. Ibu guru pun kembali menatapku setelah aku menaruh tas dan duduk. Ibu guru berhenti menatapku seraya ia berdiri untuk mengajar. Namun sepanjang pelajaran berlangsung, yakni pelajaran Kesenian, ibu guru beberapa kali melemparkan arah pandangannya ke aku.
Dalam ruangan ini, sekalipun aku tidak duduk di pojok, tapi aku merasa terpojokan. Aku berusaha dengan keras menahan air mata. Aku takut menangis karena sewaktu di sekolah lama, aku sempat menangis. Mereka tambah menertawaiku, “Sudah hitam, cengeng pula,”.
Aku tak mendengar sama sekali apa yang ibu guru katakan. Yang kuketahui, aku ingin segera mengakhiri sekolah ini. Ingin segera mendengar bel pulang. Sepanjang pelajaran, mataku tak henti mengintip jam dinding. Sepertinya jam dinding itu rusak. Ia bergerak terlampau lambat. Tubuhku mulai mengeluarkan keringat. Aku ingin menangis. Aku tak boleh menangis. Aku ingin menangis. Aku tak boleh menangis.
Kriiiiing….
Akhirnya, bel berbunyi juga. Berbunyi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun aku duduk di bangku ini. Setelah sekian lama seluruh mata melihat ke aku. Aku bergegas mengambil tas dan melangkah keluar. Ibu guru menahan dengan menarik lenganku. Mati! Pikirku. Ia mungkin saja akan mengeluarkan penggaris dan menyabetnya ke tubuhku karena aku tidak sehitam mereka, karena aku lambat dalam menerima pelajaran. Terlebih, aku tak memerhatikan apa yang ia sampaikan sepanjang kelas berlangsung. Mati! Bagaimana jika iya menanyakanku sesuatu terkait pelajaran tadi dan aku tidak bisa menjawab.
“Mau ke mana? Kok bawa tas? Kan belum pulang. Baru bel istirahat,” kata Ibu Guru.
Anak-anak di kelas serempak tertawa ke arahku. Mereka memanggilku Putih. Katanya, aku dungu. Katanya, kulitku kulit anak manja. Katanya, kulitku lemah. Katanya, Ibu pasti menemukanku di tempat sampah dan tidak tega denganku.
Tak kuat untuk menahan, akhirnya, aku pun menangis. “Dia menangis! Kulit putih memang cengeng!” kata salah seorang dari mereka. Yang, lagi-lagi, mengundang tawa anak-anak lain.
“Mana, coba keluarkan kotak makanmu! Aku penasaran apa yang dimakan oleh Putih,” teriak salah seorang anak diikuti dengan tawa.
Aku tidak menjawab apa pun yang mereka katakan. Pun tak berani untuk melakukan gerakan tambahan. Mereka mengambil sendiri kotak makan dari tasku. Tas berwarna putih.
Hari berjalan sepanjang beberapa tahun. Aku tak berani bicara apa pun pada saat ibu menjemputku.
Waktu makan malam tiba. Aku takut orang tuaku akan menanyakan bagaimana hari pertama di sekolah baru. Ayah menyiapkan piring, ibu membawakan masakan dari dapur. Kami duduk bertiga di kursi masing-masing, mengerubungi satu meja yang sama. Malam ini, seperti biasanya, ayah putih. Seperti biasanya pula, ibu hitam malam ini.
“Bagaimana hari pertamamu di sekolah baru?” tanya Ayah.
“Aku ini hitam atau putih sih?” tak butuh waktu banyak untukku membalas pertanyaannya dengan pertanyaanku.
“Kamu itu hitam dan putih. Dua-duanya,” kata Ibu.
Aku menangis. Aku tak mau menjadi hitam dan putih. Aku tak mau menjadi dua hal berbeda di waktu bersamaan karena aku menjadi bukan keduanya pun bukan apa-apa. Aku menangis kejar, "aku gak mau hitam dan putih".
“Jangan nangis, sayang. Kamu coklat,” kata Ibu seraya merangkulku.
“Tapi gakada coklat!”.
Kamu itu hitam dan putih. Dua-duanya, kata Ibu.
Comments
Post a Comment