Manusia tidak pernah lepas dari budaya. Budaya merupakan identitas yang menjadi bagian penting dari individu dan membentuk cara kita mempersepsi sesuatu. Budaya jugalah yang melahirkan aturan dalam tata cara interaksi antar-manusia, baik secara implisit maupun eksplisit. Kita dapat mengenali diri kita dan menemukan jati diri dengan mengenali budaya kita sendiri terlebih dahulu.
Budaya memiliki kaitan yang erat dengan komunikasi. Bahkan, Edward T. Hall mengatakan, communication is culture, and culture is communication. Tanpa sadar, kita tidak pernah lepas dari budaya selama berkomunikasi atau berinteraksi dengan manusia lain. Di satu sisi, perbedaan budaya memang menjadi keunikan, tapi di sisi lain, perbedaan jugalah yang melahirkan ethnosentric, stereotip, dan kesalahan-pahaman atau perbedaan makna dalam berkomunikasi. Kesalahan-kesalahan komunikasi yang didasari perbedaan kebudayaan merupakan hal yang lazim terjadi baik dalam lingkup kecil, maupun besar. Kita juga dapat menghindarinya dengan sadar akan adanya perbedaan tersebut.
Makan dengan tangan atau sendok garpu? Berbicara sambil menatap mata atau tidak? Pada dasarnya tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk. Setiap budaya berbeda dan memiliki keunikannya tersendiri. Namun, dengan berkembangnya zaman, derasnya arus globalisasi, dan bercampurnya budaya, akankah budaya-budaya yang hidup sekarang ini akan pudar? Mungkinkah akan ada kebudayaan yang dijadikan acuan global? Atau justru semakin banyak pecahan-pecahan budaya baru yang lahir akibat akulturasi?
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economy Community kesepakatan antara negara-negara Asean yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 2015 ini di mana perdagangan bebas, baik bidang permodalan, barang, jasa, atau tenaga kerja, akan dilaksanakan di Asean. Perjanjian ini juga meniadakan aturan-aturan yang sebelumnya mempersulit perekrutan tenaga asing. Dengan ini, masyarakat di negara-negara Asean harus memiliki kualitas yang tinggi agar mampu bersaing. Karakteristik dari MEA sendiri ialah pasar dan basis ekonomi yang tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif, wilayah pembangunan ekonomi yang merata, dan daerah terintegrasi penuh dalam ekonomi global.
Lahirnya MEA tentu akan semakin memudarkan garis-garis antar-bangsa di negara-negara Asean. Pertukaran barang dan jasa akan semakin deras dan mudah. Hal ini tentunya juga akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dari negara-negara Asean baik secara budaya maupun sosialnya. Indonesia sendiri merupakan negara yang tidak memiliki budaya, melainkan terdiri atas beraneka ragam budaya. Akankah keanekaragaman ini akan bertahan? Atau justru secara dinamis akan mengarah ke sebuah budaya yang tunggal atau dominan? Dampak MEA terhadap negara-negara Asean, khususnya Indonesia dapat ditinjau melalui kacamata globalisasi, glokalisasi, dan grobalisasi.
Globalisasi menurut The American Heritage Dictionary yakni “the act of process or policy making something worldwide in scope or application”,yaitu suatu tindakan dari suatu proses atau pengambilan kebijakan menjadikan sesuatu yang mendunia (universal) baik dalam lingkupnya maupun aplikasinya. Sedangkan menurut Achmad Suparman, globalisasi adalah suatu proses yang menjadikan sesuatu benda atau perilaku sebagai ciri dari setiap individu di dunia tanpa dibatasi oleh wilayah. Secara garis besar, globalisasi berjalan ke arah dunia yang lebih maju, dan membuatnya seolah tanpa batasan ruang. MEA tentu mengarahkan Asean lebih maju dan membuatnya seolah tidak memiliki batasan ruang. Pertukaran, terutama secara budaya, akan jauh lebih mudah. Namun, kecemasan yang timbul justru hal tersebut akan menghapus atau memudarkan nilai budaya-budaya yang sudah ada dalam setiap daerahnya.
Melalui pandangan di atas, siapkah masyarakat Indonesia mempertahankan budaya-budaya yang ada ketika menghadapi MEA? Hal ini bergantung kepada tiap individu. Seseorang akan mencintai budaya dan negaranya ketika ia sudah memelajarinya. Segalanya dimulai dengan mengenal. Ketika kita sudah mengenal apa kebudayaan kita, siapa akar kita, rasa cinta dan tanggung jawab akan tumbuh mengiringi kita. Jadi, budaya tersebut akan mengakar dalam diri kita sekalipun secara geografis kita bukan berdiri di wilayah yang berbudaya sama dengan kita.
Glokalisasi memiliki pandangan yang berbeda dalam kaitannya dengan dampak MEA terhadap kebudayaan negara-negara Asean. Glokalisasi yang terdiri dari kata global dan local merupakan proses penyesuaian produk global dengan karakteristik atau ciri khas lokal. Istilah ini pertama kali dimunculkan di Harvard Business Review pada akhir 1980 oleh para ekonom Jepang. Hal ini merupakan salah satu strategi bisnis yang kini kerap digunakan agar konsumen memiliki rasa kedekatan pada produk tersebut.
Globalisasi justru dianggap menjadi salah satu pendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap kearifan lokalnya sendiri sehingga glokalisasi terus berkembang. Dengan begitu, melalui MEA ini, negara-negara Asean justru dipicu untuk lebih mempertahankan kebudayaan yang dimilikinya sendiri. Mereka justru menjadi lebih peka dan sadar akan jati dirinya masing-masing.
Hadirnya pandangan mengenai glokalisasi memecah beberapa pandangan mengenai globalisasi. Salah satunya ialah bahwa globalisasi akan melahirkan generasi masyarakat yang homogen. Di sini, globalisasi justru dipercaya akan memecah manusia menjadi makhluk yang lebih berbeda-beda. Tidak heran bila kedepannya lahir kebudayaan-kebudayaan baru yang merupakan perpaduan antar-budaya yang ada di Asean. Dalam kasus ini, MEA justru menjadi semacam katalis yang mempercepat proses perpaduan dan kelahiran budaya-budaya baru atau perpaduan ini. Heterogenitas pun tetap terjaga.
Berbeda dengan glokalisasi, grobalisasi justru percaya bahwa globalisasi menyetir dunia ke arah yang homogen. Setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Hal ini yang membantu mereka menyesuaikan diri dengan globalisasi dan mendorong terbentuknya budaya yang berlaku secara mendunia. Melalui pandangan ini, MEA justru mempercepat proses homogenitas tersebut. Setiap individu dituntut untuk mampu bersaing dalam lingkup Asean. Hal ini mendorong terbentuknya ekonomi dan komunikasi yang stabil dan menimbulkan persamaan perspektif dalam interaksinya. Dengan ini, tentu masyarakat yang terlibat dalam MEA ini akan mengarah ke suatu kebudayaan yang sama, dengan tujuan dan persepsi yang sama.
Sebenarnya, tidak ada yang salah tentang pandangan-pandangan mengenai dampak dari MEA terhadap kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki oleh negara-negara Asean. Pandangannya bergantung dari kacamata mana kita melihatnya. Hal tersebut dikarenakan, proses pemudaran dan pengakaran tersebut akan terjadi secara bersamaan.
Daftar Pustaka:
Richard West dan Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory Analysis and Application, New York, Mc Graw Hill, 2007.
Setiadi, Elly M. , dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial. Jakarta: Predana Media Group. 2011.
Sanderson, Stephen. Makrososiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2011.
http://www.pustakasekolah.com/pengertian-globalisasi.html, diakses Selasa (14/7) pukul 01.07
http://klikbelajar.com/pengetahuan-sosial/pengertian-dan-fenomena-globalisasi/ diakses Selasa (14/7) pukul 01.07
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-globalisasi-penyebab-dampak-globalisasi.html?m=1 diakses Selasa (14/7) pukul 01.07
http://www.seputarpengetahuan.com/2014/10/5-pengertian-globalisasi-menurut-para.html?m=1 diakses Selasa (14/7) pukul 01.07
http://www.liputan6.com/tag/masyarakat-ekonomi-asean diakses Selasa (14/7) pukul 01.07
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015 diakses Selasa (14/7) pukul 01.07
https://www.academia.edu/9060383/masyarakat_ekonomi_ASEAN_2015_MEA_2015_ diakses Selasa (14/7) pukul 01.07
Comments
Post a Comment