Gemuruh suara langkah memenuhi ruang hampa di lapangan sore itu. Langkah dengan ritme yang seirama. Sore itu merupakan hari pelantikan bagi kami. Sebuah penantian panjang yang telah kami tunggu sejak hari pertama pelatihan kami. Sebuah momen yang telah kami bayangkan sejak awal kami memasuki tempat ini. Sebuah impian yang kerap kali padam selama masa pelatihan berat ini. Namun, memang untuk mendapatkan suatu gelar yang besar, kami perlu mengorbankan hal yang besar pula. Segala sesuatu yang kami korbankan, waktu, tenaga, pikiran, memang sebanding rasanya dengan apa yang kami dapatkan hari ini.
Seperangkat alat panah diberikan pada kami. Mataku terpukau melihat rapihnya barisan kami dihiasi warna-warni sayap yang memenuhi ruang itu. Setiap sayap memiliki keunikan dan warna yang menjadi simbol karakter mereka. Aku? Aku terlahir tanpa pigmen warna, hanya sayap putih polos yang menemaniku. Salah seorang malaikat besar dengan sayap hijau mendekatiku dan memberikan tempat berbulu putih yang berisikan panah sambil tersenyum dan memberiku selamat.
“Yang baru saja kalian lewati hanyalah gerbang utama. Namun, dengan diberikannya panah ini, kalian akan memasuki dunia yang sebenarnya,” ujar malaikat itu.
Jiwaku saja sudah hampir terenggut selama memasuki gerbang utama itu. Setiap pelatihan terasa nyata. Namun, itu hanyalah sebuah ilusi yang dibuat seperti realita. Kini sayapku siap menerjang realita di dunia. Mungkin siap. Karena kini ku telah menjadi perpaduan antara material dan immaterial. Menjadi suatu bagian dari realitas.
Comments
Post a Comment