Saat tubuhku terbaring tapi rohku terbang dan melompat dari satu ke awan lainnya..
Saat aku sedang duduk di hadapan api unggun, tapi jiwaku ditarik mundur ke waktu lampau, membuatku membuatku terpecah dalam dua waktu yang berbeda dalam ruang yang sama..
Saat ia muncul, suaraku ditarik ke ruang yang jauh, dan diputar kembali di waktu yang berbeda..
Saat aku sedang menatap diriku sendiri yang terjebak di belakang cermin..
Saat pikiranku perang hingga terpecah menjadi dua blok, salah satu di antaranya lari ke dimensi yg membuatku tak sadar, membuatku terjepit di antara keadaan sadar dan tidak sadar..
Ketika mataku, telingaku, pikiranku menipu, aku larut dalam dimensi palsu yang dikonstruksi dengan begitu nyata, aku berhasil diliciki pikiranku sendiri..
Hingga pada akhirnya aku tak pernah tahu, aku kah yang mempermainkan seluruh ruang dan waktu? Pikirankukah? Atau justru aku yang selama ini menjadi objek permainan mereka?
Kuselalu membayangkannya sebagai lautan. Namun, ia tak ubahnya hanyalah sebuah danau buatan. Seketika, danau tersebut menarikku ke memori 14 tahun yang lalu. Kala itu, aku masih mengenakan seragam putih-abu, duduk di batu yang sama, dengan kekasih yang berbeda. Dalam percakapan itu, aku berkisah tentang ketakutanku memasuki dunia kuliah, ketakutanku akan sebuah perubahan, ketakutanku menjadi dewasa. Aku menangis terisak-isak. Ia merangkul dan menenangkanku. Tak lama, ada seorang anak berjualan tisu. Kami pun serentak tertawa. “Kayaknya kamu sangat butuh ini,” ujarnya. Ia menyeka air mataku dengan tisu kering yang baru dibelinya dari bocah seharga Rp 5.000. Ia memelukku, seketika tangisku pun berubah menjadi tawa. Mengingat segalanya kembali, dalam ruang yang sama, dengan waktu yang berbeda, membuatku menyadari seberapa lugunya kisahku dan ia di masa lalu, seberapa membahagiakannya. Mengingatnya kembali, membuatku rindu pada momen itu. Aku tak mungkin rindu pada lelaki itu,...
Comments
Post a Comment