Ia melihat dunia tanpa ada ingatan tentang orang tuanya. Seekor burung kecil dan jelek. Lupa kapan ia mulai bisa terbang, hanya saja seumur hidupnya ia selalu terbang. Terbang seekor diri. Ia dapat menjadi siapa pun karena tak ada yang mengingatnya. Tidak berharga untuk dipelihara, apalagi diberi makan dan ditaruh dalam sangkar. Terlalu liar untuk dijinakan. Ketika ia mati, tak akan ada air mata yang jatuh untuknya. Hanya ada seorang manusia yang tak sengaja menginjak bangkainya dan menendangnya ke saluran air di pinggir jalan. Begitu singkat sekaligus rumit kisah hidupnya. Untungnya ia tidak penting, sehingga kerumitan hidupnya hanya menjadi beban bagi dirinya sendiri.
Kuselalu membayangkannya sebagai lautan. Namun, ia tak ubahnya hanyalah sebuah danau buatan. Seketika, danau tersebut menarikku ke memori 14 tahun yang lalu. Kala itu, aku masih mengenakan seragam putih-abu, duduk di batu yang sama, dengan kekasih yang berbeda. Dalam percakapan itu, aku berkisah tentang ketakutanku memasuki dunia kuliah, ketakutanku akan sebuah perubahan, ketakutanku menjadi dewasa. Aku menangis terisak-isak. Ia merangkul dan menenangkanku. Tak lama, ada seorang anak berjualan tisu. Kami pun serentak tertawa. “Kayaknya kamu sangat butuh ini,” ujarnya. Ia menyeka air mataku dengan tisu kering yang baru dibelinya dari bocah seharga Rp 5.000. Ia memelukku, seketika tangisku pun berubah menjadi tawa. Mengingat segalanya kembali, dalam ruang yang sama, dengan waktu yang berbeda, membuatku menyadari seberapa lugunya kisahku dan ia di masa lalu, seberapa membahagiakannya. Mengingatnya kembali, membuatku rindu pada momen itu. Aku tak mungkin rindu pada lelaki itu,...
Comments
Post a Comment